Suara Pembaruan, 25 Januari 2009
Binsar A. Hutabarat
Indonesia dikenal memiliki karakter kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatkala mencapai kemerdekaan, dan saat mempertahankan kemerdekaan. Sekarang otot karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sangat lembek.
Kian melembeknya otot-otot karakter bangsa Indonesia ini tentu saja menjadi kabar buruk, karena itu berarti kehidupan berbangsa sedang berada dalam kemunduran. Itulah sebabnya, mengapa disintegrasi bangsa kini menjadi persoalan krusial yang terbaca dari konflik-konflik mudah meledak di berbagai daerah apalagi jika berhubungan dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Masih tingginya tingkat korupsi di Indonesia, disusul dengan upaya pelemahan KPK, bergentayangannya makelar kasus, belum selesainya kasus Bank Century, perlakuan diskriminatif dalam penjara yang menjadi buah bibir, penculikan bayi yang melibatkan petugas rumah sakit dan puskesmas, semakin memberi peneguhan bahwa otot karakter bangsa ini dalam kondisi yang amat lembek. Keburukan menjadi sesuatu yang biasa dan nilai-nilai kebaikan telah menjadi barang mewah di negeri ini.
Dekadensi moral yang terjadi di negeri ini harus diakui merupakan potret adanya cacat dalam pendidikan kita. Ironisnya, pemerintah masih saja bersikukuh untuk menyelenggarakan ujian nasional yang tak memiliki saham penting untuk menguatkan karakter bangsa.
Bahkan, mengalami penolakan karena terbukti merangsang siswa dan guru yang merasa terpojok untuk menghalalkan mencontek demi suatu keberhasilan, baik untuk kelulusan atau nama baik sekolah.
Cacat Pendidikan
Pendidikan Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan dan mengabaikan pendidikan karakter. Pendidikan moral, seperti pendidikan Moral Pancasila memang ada, namun, pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini seperti apa yang dikatakan Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan tidak pernah memperhatikan bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan kita sehingga pendidikan gagal untuk menghadirkan bangsa yang berkarakter kuat, dan akhirnya berdampak dan turut memberikan saham terhadap dekadensi moral yang amat memprihatinkan.
Pendidikan seharusnya mampu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik, manusia adalah animal seducandum artinya, manusia ialah binatang yang harus dan dapat dididik. Dengan tepat Aristoteles mengatakan, sebuah masyarakat yang budayanya tidak memperhatikan pentingnya mendidik good habits (melakukan kebiasaan berbuat baik), akan menjadi masyarakat yang terbiasa dengan kebiasaan buruk.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “menandai”, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karena itu, untuk menghadirkan bangsa yang bermoral, masyarakat perlu mendapatkan pendidikan karakter sejak masa kecil mereka, sebagaimana dikatakan Thomas Lickona (1991), pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras.
Pendidikan Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan dan mengabaikan pendidikan karakter harus segera dibenahi. Manusia memerlukan pendidikan karakter untuk tampil sebagai pribadi-pribadi yang berkarakter kuat, jika tidak, dekadensi moral akan terus terjadi. Untuk memiliki karakter atau budi pekerti yang baik itu perlu adanya latihan yang serius (askese). Manusia memang memiliki karakter bawaan, namun itu tidak berarti bahwa karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik, berbeda dengan kebiasaan buruk.
Kita tentu setuju melakukan kebiasaan berbuat baik itu sukar, meski dorongan kebaikan memang ada, tetapi jika dorongan-dorongan yang tidak baik itu dibiarkan saja, maka keinginan yang baik dengan mudah didesak. Kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik berkembang beraksi semaunya, kekacauanlah yang terjadi. Semua agama tentu setuju, jadi apa manusia itu, sebetulnya tergantung pada bagaimana manusia itu mengkonstruksi diri sendiri, yang baik dikembangkan, yang jelek dikurangi atau dihilangkan.
Karakter yang baik lebih patut dipuji daripada bakat yang luar biasa, karena bakat adalah anugerah, sedang karakter yang baik tidak dianugerahkan, karakter yang baik lahir dari latihan dan perjuangan yang keras. Otot karakter kita akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan menjadi kuat kalau sering dilatih.
Pemerintah sudah waktunya fokus pada bagaimana memperbaiki cacat pendidikan di Indonesia yang telah mengabaikan pendidikan karakter. Pemerintah perlu memperbaiki perpustakaan sekolah untuk meningkatkan budaya baca dengan menghadirkan buku-buku bacaan berkualitas tentang budaya bangsa ini untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Peran guru disini menjadi sangat strategis, guru patut diberikan kedudukan terhormat, termasuk juga pemenuhan kebutuhannya, bukan hanya untuk sekolah negeri, tapi juga guru-guru swasta. Askese, latihan untuk menekan keburukan dan mempromosikan kebaikan khususnya bagi mereka yang mengemban jabatan publik akan menjadi kekuatan fenomenal untuk pembangunan karakter bangsa.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah peneliti di Reformed Center for Religion and Society