Dekade Kerakusan (Soal Beras dengan Pemutih dan Produk Berpengawet)

Investor Daily, 16 Januari 2007
Binsar A. Hutabarat

Seruan pertobatan dari tokoh agama dalam merespon bencana yang datang silih berganti, tampaknya hanya menjadi kata-kata indah yang hanya patut dirangkaikan dalam puisi serta tidak pernah mampu menyentuh relung hati banyak orang Indonesia. Terbukti bukanya sikap solidaritas antar sesama yang ditumbuhkan, namun justru roh kerakusan yang kini kita saksikan. Setidaknya yang tersirat pada fenomena hadirnya beras mengandung klorin serta produk berpengawet lainya di masyarakat. Maraknya produk yang mengandung bahan berbahaya jangan-jangan merupakan alarm lahirnya dekade kerakusan yang tidak pernah kita impikan.

Perintah penarikan terhadap minuman yang terbukti mengandung pengawet ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Tahun 2001 dan 2002 telah banyak minuman berpengawet yang diperintahkan untuk ditarik dari peredaran, karena mengandung bahan yang membahayakan konsumen. Herannya, perusahaan-perusahaan tidak pernah kapok untuk meluncurkan produk-produk monuman berpengawet yang membahayakan masyarakat. Pastilah untungnya jauh lebih besar dari kerugian yang harus mereka tanggung, meski harus menarik semua produknya dari pasaran ketika tertangkap basah. Jangan heran banjir produk minuman berpengawet seakan tidak pernah sepi dari tahun ke tahun.

Produk berpengawet ini tidak hanya ada pada minuman yang bukan merupakan kebutuhan utama, tapi juga ada pada produk obat-obatan tradisional seperti jamu yang biasa dikonsumsi masyarakat. Produsen jamu di Cilacap tanpa merasa bersalah memperoduksi jamu oplosan dengan zat-zat yang berbahaya dan dijual secara bebas. Anehnya, setiap kali produk tersebut ditarik karena kedapatan mengoplos kandungan berbahaya, produk baru akan muncuk kembali dengan mengoplos barang yang sama dan semuanya memiliki ijin Depkes.

Masyarakat pengemar jamu kini harus berhati-hati dalam memilih merek jamu yang akan dikonsumsi. Yang tidak mau tau biasanya menyetop konsumsinya. Tetapi yang memiliki kantong tipis harus rela hidup dalam kekhawatiran sambil terus berusaha mendapatkan jamu bebas zat berbahaya, apalagi kalau kebiasaan minum jamu itu sudah menjadi warisan turun-temurun.

Masih hangat dalam ingatan kita ketika BPOM mengumumkan bahwa banyak makanan seperti tempe, tahu, baso, ikan asin, ikan basah yang beredar di pasar ternyata mengandung formalin sehingga penurunan omzet penjualan terjadi secara dratis. Muncul keluhan dari pedagang dan pengusaha, tapi tidak pernah diperkirakan oleh mereka bahwa pedagang itu juga telah ikut andil merusak kesehatan masyarakat. Jangankan mengungkapkan permintaan maaf untuk tindakan yang tidak disengaja, mereka yang jelas-jelas dengan sadar melakukan pun kalau mungkin berusaha berkelit sebisa mungkin untuk tidak terjerat hukum. Tampaknya roh kerakusan kapitalisme yang hanya peduli dengan untung besar mulai mengancam negeri ini.

Belum juga kekhawatiran kita hilang terhadap minuman berpengawet serta jamu dengan kandungan zat berbahaya, kini masyarakat dihebohkan dengan kandungan pemutih pakaian atau klorin pada beras yang dijual di pasar tradisional. Melonjaknya harga besar telah membuat rakyat kecil merana, tapi penderitaan tersebut kini ditambah denga kekhawatiran adanya zat berbahaya dalam kandungan beras yang tampak putih dan menarik untuk dikonsumsi, apalagi dengan harga yang cukup murah.

Racun rupanya makin ganas memangsa rakyat kecil, tapi anehnya pemerintah begitu lamban bertindak melindungi rakyat kecil dari serangan racun yang disebarkan oleh monster-monster yang mencintai rupiah. Inikah tanda lonceng kemenangan kapitalisme yang menjadi pionir lahirnya dekade kerakusan?

Tanggung Jawab Pemerintah
Keterbatasan informasi selalu menjadi alasan klasik ketika produk berbahaya dijual dengan bebas di pasaran tanpa ada tindakan dari pemerintah. Alasan itu jugalah yang kini untuk membenarkan kelemahan pemerintah dalam bertindak terhadap peredaran beras mengandung klorin yang kini menjadi buah bibir. Padahal pemerintah wajib menjamin keamanan pangan. Kemudahan berusaha memang diperlukan untuk mendorong lajunya pertumbuhan perekonomian Indonesia, tapi peran pemerintah dalam hal ini tidak boleh absen menjamin keamanan pangan.

Hadirnya produk berpengawet dan kini pada beras yang mengandung klorin, merupakan bukti kompetisi destruktif telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat. Realitas ini tentunya sangat memprihatinkan, karena dalam hubungan bisnis atau kerja ternyata nilai-nilai etis makin menguap. Bahkan kalau boleh dikatakan tidak lagi menjadi bidang yang perlu diperhitungkan. Segala sesuatu diukur dengan jumlah uang yang mingkin untuk didapat. Karya hanya diukur dengan seberapa banyak hasil yang didapat diperoleh seseorang, tanpa peduli seberapa besar karya itu berdampak bagi orang lain. Kepuasan yang pada hakikatnya juga bisa didapat ketika sesorang membahagiakan orang lain menjadi tidak lagi populer.

Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala atas sesamanya) itulah roh kapitalisme yang diagung-agungkan dan terus mendorong pasar bebas serta meminimalkan peran pemerintah. Padahal pasar itu sendiri digerakkan oleh manusia-manusia egois dan ingin untung sendiri, lahirlah semboyan bar-bar: siapa kuat dialah yang bertahan. Itulah yang terbaca dalam persaingan dagang yang menghalalkan produk berpengawet serta beras mengandung klorin.

Suatu anomali telah terjadi, nafsu kerakusan kini dianggap baik karena memberikan motivasi yang tinggi untuk terus menjadi kaya, ini adalah bukti kemunculan dekade kerakusan. Realitas ini akan membuat yang miskin bertambah miskin dan yang kaya bertambah kaya. Tidaklah mengherankan setengah jumlah penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan tentunya juga tidak sehat, karena banyak produk murah yang mengandang racun. Itulah makanan si miskin. Herannya elit di parlemen masih sibuk saja mempersoalkan kenaikan gaji.

Sanksi Berat
Produk berpengawet mengandung racun tidak boleh lagi dianggap sebagai kesalahan produsen perusahaan untuk menepati perjanjian yang telah dtetapkan mengenai kandungan yang ada sesuai standar Departemen Kesehatan. Namun, dalam tindakan itu harus ada manifestasi dari nafsu keserakahan yang membahayakan. Perusahaan berusaha mengunakan modal kecil mungkin walau harus berdusta, sehingga dapat menjual produk semurah mungkin dan sebanyak mungkin. Demi memenagkan persaingan, tanpa peduli pada konsumen sebagai pihak yang dikorbankan. Ganjaran dari tindakan itu haruslah merupakan sanksi yang berat.

Secara rasional Immanuel Kant berpendapat, seorang yang telah melakukan tindakan yang banyak merugikan orang lain sama saja dengan membuka dirinya untuk menerima balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Sanksi ini tentunya bukan merupakan pembalasan dendam, tetapi sebagai upaya untuk menekan kompetisi destruktif yang membahayakan serta menjujung tinggi hukum yang berkeadilan yang akan melindungi rakyat banyak.

Mudah-mudahan kita tidak lagi dihantui oleh beras dengan klorin dan produk makanan dan minuman berpengawet, sehingga ornang miskin dapat memakan makanan sehat dan dapat memperbaiki kualitas hidupnya.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.