Dampak dan Antisipasi Krisis Global

Suara Pembaruan, 18 Maret 2009
Tandean Rustandy

Dunia sekarang dilanda kekhawatiran. Ke mana pun kita pergi dan siapa pun yang kita temui pasti mengeluhkan kondisi sekarang. Begitu luasnya dampak krisis ekonomi global, yang mengakibatkan angka pengangguran meningkat, daya beli masyarakat menurun, tingkat penjualan merosot, dan ada perusahaan yang gulung tikar.

Pengaruh krisis menimbulkan paradigma segala sesuatu susah ke permukaan. Pembicaraan di kantor, restoran, warung kopi, sampai di rumah tangga, semuanya serba susah. Setiap orang terseret ke dalamnya. Efek yang lebih mengkhawatirkan adalah surutnya semangat, mental yang melempem, kelesuan, dan kriminalitas merebak.

Kita kalah sebelum berperang. Pertanyaannya, di mana letak pengharapan kita kalau belum apa-apa sudah mengatakan serbasusah? Tahun 1940-an bangsa kita masih dijajah Belanda. Kita kalah dari segi kekuatan, pendidikan, dan kemampuan melobi. Semua kalah, tapi dengan satu tekad, kita merdeka!

Bagaimana respons kita terhadap kondisi sekarang? Kalau dulu kita bisa, kenapa sekarang tidak, padahal kondisi saat ini lebih baik dibanding sebelumnya. Sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia begitu luar biasa melimpah. Dua hal ini adalah modal penting bagi suatu bangsa untuk bisa maju dan kita memiliki keduanya.

Jika kita bandingkan dengan negara-negara Barat. kualitas hidup mereka memang lebih nyaman. namun krisis kali ini memberikan dampak yang berbeda. Kesulitan yang dirasakan mereka jauh lebih dahsyat. Kita yang sudah terbiasa dengan kualitas hidup yang sederhana, seharusnya tidak masalah apabila menghadapi sedikit penurunan. Kenapa kita harus mengeluh susah?

Tanggung Jawab
Pertanyaan selanjutnya, benarkah pendidikan menjadi satu-satunya kunci keberhasilan suatu negara? Satu hal yang sangat penting dan sering hanya menjadi klise adalah iman. Banyak doktor dan orang berpendidikan yang berada di IMF, World Bank, Goldman Sach, dan perbankan raksasa, namun justru asal usul problem perekonomian dunia ini hancur berasal dari “mereka” negara-negara Barat. Jawabannya, bukan karena banyak orang pintar dan baik, tetapi lebih bergantung pada esensi jiwa dan tanggung jawab seorang atas kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita.

Kami yakin kita akan menjadi bangsa yang kuat apabila ada tiga ‘T’ yang harus menjadi guideline dalam mengarungi badai krisis global. Pertama adalah Takut akan Tuhan. Jika seseorang sungguh – sungguh memiliki hati yang takut akan Tuhan, segala perbuatan yang dia lakukan dipertimbangkan dengan matang berdasarkan prinsip-prinsip keimanan yang dia miliki. Seseorang tidak dapat secara total terlepas dari si “aku”, namun di dalam pergumulannya untuk mempertanggungjawabkan segala apa yang dilakukan, si “aku” sudah tidak lagi menjadi tujuan akhir.

Kedua adalah waktu. Kita dibatasi dalam ruang dan waktu. Hanya dalam dua batasan inilah kita berkarya. Kita harus selalu menyadari di manakah Tuhan menempatkan kita, yaitu di Indonesia. Waktu adalah aset yang sangat berharga dan tidak bisa dinilai dengan uang. Nilai uang semakin lama semakin menurun. karena semakin banyak yang dicetak, namun nilai dari waktu tidak pernah menurun, bahkan semakin lama semakin berharga. Oleh karena itu, efektivitas dan efisiensi harus menjadi letak perjuangan kita di Indonesia. Dari hal yang terkecil sampai yang terbesar untuk bisa bertahan, bahkan untuk maju. .

Ketegasan adalah poin yang ketiga. Prinsip yang baik dan benar harus dijalankan dengan tegas tanpa kompromi. Mulai dari diri sendiri baru kemudian terhadap orang lain. Dari sini, kita akan melihat adanya kemandirian. Kemandirian tidak berarti lepas total dari segala pihak atau berjalan sendiri, tetap memerlukan keberadaan pihak lain. Kemandirian justru memiliki arti menggantungkan diri kepada pihak yang memiliki kedaulatan yang paling tinggi. Apakah pemerintah adalah pemegang kuasa tertinggi? Ataukah negara adi kuasa adalah pemegang kedaulatan tertinggi yang menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa? Kemandirian menuntut ketegasan kepada siapa kita bergantung. Kemandirian tertinggi adalah di mana seseorang atau satu bangsa bergantung penuh kepada Tuhan yang berdaulat penuh atas seluruh semesta ini. Oleh karena itu, sepatutnya kita tidak lagi bergantung kepada fasilitas atau pihak yang memegang dan memberikan kekuasaan.

Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School

Leave a Comment

Your email address will not be published.