Ulasan Buku #2
Pengulas: Calvin Nathan Wijaya
Fragmen Teologis untuk Kebijakan Publik Berkeadilan
Hubungan antara nilai agama yang seringkali dikategorikan privat dan kebijakan yang bersifat publik selalu mengalami pergolakan. Nilai-nilai privat berdasarkan agama yang hendak diaktualisasikan pada ranah publik seringkali dituduh sebagai kegiatan mempromosikan agenda partisan untuk memaksakan keyakinan tertentu. Kaum beragama, khususnya, seringkali dipandang sebagai polisi moral yang suka menilang dan seringkali menghambat keefisienan pembuatan kebijakan publik. Alhasil, kaum beragama, khususnya pemuka agama, kerap “dieksklusi” dalam proses kebijakan publik.
Pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy) pun menjadi slogan bersama, di mana yang menjadi dasar pengambilan keputusan dalam kebijakan publik harus dan hanya bukti yang objektif, bukan nilai pribadi yang subjektif. Namun, hal tersebut tetap tidak menyelesaikan masalah. Pasalnya, kebijakan publik yang tanpa didasari pertimbangan etis dan moral tak ayal merupakan sebuah dehumanisasi kebijakan. Hal ini menjadi semakin sulit, terutama bila tujuan utama dari kebijakan publik itu adalah untuk mencapai “keadilan”, sesuatu yang sarat akan kontestasi nilai dan makna.
Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa apresiasi dan pemberian tempat bagi nilai-nilai privat berdasarkan keyakinan agama dalam pembuatan kebijakan tentu memiliki tantangan tersendiri, khususnya dalam konteks masyarakat plural. Hal tersebut memunculkan pertanyaan: Siapakah yang memiliki nilai yang paling “baik” (atau “benar”) sehingga layak dijadikan dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan publik?
Dalam konteks iman Kristen, sayangnya, para pemelajar teologi sendiri seringkali mendiskreditkan teologi dari ruang publik melalui sikap kurang percaya diri bahwa teologi memiliki sesuatu untuk ditawarkan. Padahal, jurang antara teologi dan teori keadilan telah memiskinkan keduanya sehingga keduanya tidak mampu memainkan peran sentral dalam masyarakat untuk menciptakan kebijakan publik yang adil.
Lantas, mungkinkah nilai-nilai kristiani mendapat tempat dalam proses kebijakan publik di masyarakat plural untuk menciptakan keadilan?
Duncan B. Forrester menjawab pertanyaan tersebut melalui Christian Justice and Public Policy (1997). Alih-alih mencoba untuk melakukan sistematisasi atas teori keadilan Kristiani, Forrester justru menawarkan pendekatan tidak sistematis yang ia sebut sebagai “fragmen teologis”, dalam memikirkan keadilan kristiani. Fragmen teologis ini ia percaya dapat menjadi jalan masuk bagi kontribusi sederhana, namun konstruktif, yakni teologi sebagai “kebenaran publik” yang mendasari pembuatan kebijakan publik di masyarakat yang plural dan sekuler.[i]
Disusun dalam empat bagian yang terdiri dari 11 bab, setiap bagian buku ini memiliki tujuannya tersendiri di mana pembaca dibawa untuk mengikuti perdebatan benang merah antara teori, kebijakan, dan praktik keadilan. Bagian I memberikan argumentasi mengenai suara kristiani seperti apa yang cocok di ranah publik dalam kaitannya dengan kebijakan publik dan bagaimana mengartikulasikannya (Bab 1), serta tantangan-tantangan yang mengikutinya, termasuk ketiadaan standar mengenai apa itu keadilan (Bab 2). Bagian II dilanjutkan dengan memberikan dua contoh area kebijakan, yakni hukuman penjara (Bab 3) dan kemiskinan (Bab 4), untuk memperlihatkan kesulitan-kesulitan praktis yang dihadapi ketika terdapat ketidakpastian fundamental mengenai standar objektif keadilan. Setelah mendiskusikan problem praktis “di lapangan”, pada Bagian III, Forrester menggali teori keadilan dari tiga filsuf besar dunia, yaitu John Rawls (yang menekankan fairness; Bab 5), Friedrich A. Hayek (yang menekankan individualisme; Bab 6), dan Jürgen Habermas (yang menekankan rasionalitas komunikatif; Bab 7), melakukan telaah kritis dengan memperlihatkan ketidakcukupan ketiga pemikiran tersebut, dan bagaimana fragmen teologis Kristen dapat mengisi ketidakcukupan tersebut. Terakhir, pada Bagian IV, Forrester berfokus pada fragmen-fragmen teologis mengenai keadilan yang sudah digaungkannya sejak bagian awal buku ini, dimulai dari pendasaran sikap yang harus dimiliki bila ingin melihat kontribusi nyata iman Kristen terhadap pengertian dan praktik keadilan (Bab 8), relasi antara keadilan Allah dan keadilan manusia (Bab 9), keadilan sebagai kemurahan hati, pengampunan, dan komunitas yang adil (Bab 10), serta pengharapan akan hadirnya suatu komunitas masa depan yang adil (Bab 11).
Lima belas tahun berselang semenjak buku ini dipublikasikan, ide yang ditawarkan oleh Forrester tetap relevan, dan perlu digemakan, bagi konteks arena kebijakan masa kini. Mungkin Forrester tidak menduga bahwa setelah buku ini terbit, konsep “desekularisasi” dan “pasca-sekularisme” mencuat dan mengindikasikan “kembalinya” agama dalam diskursus akademis dan ruang publik. Lebih dari pada itu, buku ini bahkan sudah meneropong lebih jauh hingga ke ranah kebijakan praktis yang mikro, sesuatu yang mungkin tidak digali oleh pemikir “desekularisasi” dan “pasca-sekularisme” yang berfokus pada tataran makro.
Meski buku ini telah dengan sangat apik memberikan fragmen-fragmen teologis mengenai keadilan, Forrester tidak membahas lebih lanjut bagaimana fragmen teologis ini secara metodologis diaktualisasikan dalam dan melalui kebijakan publik. Kesulitan yang serupa ditemukan dalam berbagai literatur etika Kristen yang lebih berfokus pada subjek persoalan (seperti aborsi, perang, eutanasia, dan sebagainya) daripada metode pengaplikasian argumen moral dalam kebijakan publik. Dalam literatur kebijakan publik, setidaknya terdapat titik terang, dengan terbitnya buku The Routledge Handbook of Ethics and Public Policy (2019),[ii] yang memiliki satu bagian khusus mengenai metode dalam mengaplikasikan fragmen-fragmen moral, namun tidak secara spesifik mendiskusikan fragmen teologis. Dengan demikian, terdapat kekurangan diskursus mengenai metode yang dapat digunakan dalam menginjeksi fragmen-fragmen teologis dalam arena kebijakan yang konkret.
Makalah Piyapong Boossabong dapat sedikit membantu merumuskan metode bagaimana analisis empiris (berupa pengetahuan dari ahli) dan analisis normatif (berupa pengetahuan dari masyarakat lokal dan pemimpin agama) dapat dikolaborasikan untuk pembuatan kebijakan publik.[iii] Boossabong mengingatkan pentingnya kesadaran atas ragam epistemologi kebijakan (policy epistemology) yang perlu difasilitasi dalam satu proses deliberatif sehingga interaksi antara pengetahuan ilmiah dan religius dapat dijembatani. Dalam hal ini, proses yang terjadi adalah memahami secara intersubjektif, di mana terdapat kompromi-kompromi tertentu, dengan mengeksplorasi mode rasionalitas (deskriptif dan normatif) dalam konteks masalah kebijakan tertentu.
Jika demikian, bagaimana para pemelajar teologi dapat bertindak? Setidaknya dapat dilihat dari tiga hal: kontribusi, metode, dan subjek. Pertama, mengenai kontribusi yang dapat diberikan oleh pemelajar teologi, mereka harus mengingat, seperti yang ditekankan oleh Forrester, bahwa membicarakan fragmen-fragmen teologis bukan hanya sebuah permainan akademis.[iv] Lebih dari hal tersebut, para pemelajar teologi harus dapat memampukan pembuat kebijakan untuk menjadi, sarana opus alienum Dei (strange work of God) yang memelihara ketertiban dan pemenuhan kebutuhan manusia.[v] Membela dan memperjuangkan suara mereka yang kurang beruntung dalam proses kebijakan menjadi salah satu caranya.
Kedua, mengenai metode yang dapat digunakan, meminjam usulan Jonathan Wolff,[vi] para pemelajar teologi harus memulai perjumpaannya dengan arena kebijakan dengan mengidentifikasi masalah dan keadaan aktual. Pendekatan ini disebut “bottom-up”, di mana titik awal diskursus bukanlah proposisi-proposisi moral yang abstrak, melainkan masalah kebijakan mutakhir. Hal ini dapat menghindarkan pemelajar teolog berbicara di “atas awan” yang tidak menyentuh persoalan, dogmatisme, serta ketidakmungkinan pengaplikasian rekomendasi (implausibility of recommendation) akibat bersifat terlalu utopis. Forrester menunjukkan pada Bagian II bukunya bagaimana pendekatan “bottom-up” tersebut digunakan, meski bukan tanpa tantangan.
Ketiga, pemelajar teologi tidak boleh terjebak pada subjek-subjek pembahasan yang panas dan bersifat kontroversial saja, seperti aborsi, eutanasia, homoseksualitas, dan prostitusi, melainkan juga isu-isu yang dianggap “biasa” dan jarang menyentuh isu etis, seperti kemiskinan, kesehatan, pendidikan, transportasi, pengupahan buruh, dan sebagainya. Fragmen-fragmen teologis dibutuhkan juga dalam isu-isu tersebut. Misalnya, apakah pembangunan kota yang berorientasi pada mobil (car-oriented development) berkeadilan bagi para pejalan kaki yang tidak memiliki mobil? Atau, apakah pengupahan buruh harus didasarkan hanya pada hukum pasar tanpa pertimbangan moral tertentu bila ingin mencapai pengupahan yang berkeadilan? Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam hal yang dianggap tidak terkait dengan isu etis pun, di dalamnya mengandung persoalan moral yang perlu mendapat perhatian pemelajar teologi.
Akhirnya, seluruh kegiatan tersebut harus dikembalikan kepada satu tujuan, seperti “ayat kunci” dalam Mikha 6: 8 yang beberapa kali disebutkan Forrester secara berulang: Apakah hal tersebut menantang dan memungkinkan kita untuk “berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allah kita?”
[i] Duncan B. Forrester, Christian Justice and Public Policy (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 36.
[ii] Annabelle Lever dan Andrei Poama, ed., The Routledge Handbook of Ethics and Public Policy (London: Routledge, 2019).
[iii] Piyapong Boossabong, “Policy Analysis in Thailand: Comparing the Roles of Expert and Local Knowledge,” Journal of Comparative Policy Analysis 19, no. 2 (2017): 173–83, https://doi.org/10.1080/13876988.2017.1322364.
[iv] Duncan B. Forrester, Christian Justice and Public Policy, 56.
[v] Duncan B. Forrester, 211.
[vi] Jonathan Wolff, “Method in Philosophy and Public Policy: Applied Philosophy Versus Engaged Philosophy,” dalam The Routledge Handbook of Ethics and Public Policy, ed. oleh Annabelle Lever dan Andrei Poama (London: Routledge, 2019).
Sumber Buku: Forrester, Duncan B. Christian Justice and Public Policy. Cambridge: Cambridge University Press, 1997.
Penyunting:
Semy Arayunedya
Korespondensi: calvinathanwijaya@gmail.com