Butuh Pemimpin Visioner

  • Tandean Rustandy
  • Investor Daily Indonesia, 31 Oktober 2013
  • Waktu baca: 5 menit

Enrique Penalosa, walikota Bogota, Kolombia (1998-2001) mengatakan: “Negara maju bukanlah negara di mana orang miskinnya memiliki mobil pribadi, melainkan negara di mana orang kayanya menggunakan transportasi umum.”

Kita sangat prihatin menyaksikan kecelakaan beruntun yang menimpa dunia transportasi udara, laut, dan menyebabkan kelayakan transportasi kita dipertanyakan. Bahkan Uni Eropa mengeluarkan larangan terbang bagi maskapai Indonesia, terkecuali Garuda. Penyebabnya beragam dan saling berkaitan: kurangnya law enforcement ditambah perilaku oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, minimnya dana pengadaan dan perbaikan sarana prasarana, serta rendahnya kualitas etika dan disiplin sumber daya manusia.

Perihal transportasi udara, jumlah pesawat bertumbuh pesat, namun infrastruktur tidak memadai. Di bandara Soekarno-Hatta, di landasan, misalnya, pesawat harus mengantre sangat lama untuk take off dan landing. Sementara di dalam terminal kenyamanan penumpang tidak sebanding dengan airport tax yang dibayar dan areal parkir kendaraan macet luar biasa.

Pertumbuhan penumpang pesawat sebesar 20% terlalu tinggi, dan tanpa didukung infrastruktur yang memadai. Tiongkok yang pertumbuhan ekonominya dua kali Indonesia, pertumbuhan penumpangnya hanya 16%. Ini pun oleh Pemerintah Tiongkok diusahakan turun menjadi 14%. Indonesia seyogyanya berani mencabut izin operasi maskapai-maskapai yang tidak aman guna mengendalikan pertumbuhan yang terlampau pesat.

Belajar dari Tiongkok
Kita sebenarnya mampu mengubah institusi yang hampir bangkrut menjadi sehat apabila ada niat dan komitmen serta keterbukaan dari semua level manajemen. Contohnya Garuda. Meski pernah dilarang terbang di Eropa 2007-2009 karena alasan keselamatan, dan pernah dijuluki akronimnya “Good and Reliable Until Delay Announcement”, tahun 2010 Garuda menjadi “The Most Improved Carrier in the World“, pada 2012 mendapat penghargaan “Best International Airline“, dan 2013 mendapat penghargaan “World Best Economic Class” dan “World Best Economic Seat Class”.

Di wilayah perairan, hingga kini belum ada perubahan menuju perbaikan. Kapal tenggelam sering terjadi karena kelalaian pemilik kapal dan petugas syabandar. Penumpang dan muatan barang dipaksa melampaui kapasitas maksimum. Semuanya ini karena keserakahan. Sementara untuk transportasi darat, pemerintah lebih banyak mengumbar janji daripada realisasi mengatasi masalah. Akibatnya kemacetan merajalela, kerugian material maupun non-material terus meningkat.

Banyak kajian memperkirakan kerugian akibat kemacetan di DKI Jakarta mencapai Rp 12,8 triliun per tahun, mencakup kerugian BBM, waktu, serta dampak kesehatan, belum termasuk di dalamnya biaya merosotnya kualitas sosial masyarakat perkotaan. Penyebabnya adalah pertumbuhan jaringan jalan yang tidak seimbang dengan pertambahan kendaraan dan tidak tegasnya polisi menjalankan tugas.

Data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta menunjukkan, panjang jalan hanya bertambah 0,01% per tahun, sementara pertambahan kendaraan 12% tahun 2013.

Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi pesat karena angkutan umum jauh dari memadai. Kendaraan tua yang sudah tidak layak pun masih digunakan, menjadikan jumlah kendaraan begitu banyak.

Kendaraan pribadi bisa dikurangi dengan meningkatnya pelayanan transportasi umum. Dengan pelayanan transportasi umum yang nyaman dan aman, kendaraan pribadi akan berkurang. Sayangnya, pemerintah kurang fokus mengurus transportasi umum. Angkutan umum hanya 40% yang beroperasi, sisanya kendaraan pribadi. Bahkan, sekitar 90% angkutan umum berusia di atas 10 tahun.

Kereta api, yang merupakan milik pemerintah, mestinya bisa dikelola lebih baik. Namun, sangat disayangkan, meski sudah beberapa kali pergantian Presiden, pemerintah belum terlalu fokus pada moda transportasi yang sudah merakyat sejak lama ini. Kondisi gerbong dan keamanan, jadwal yang sering terlambat serta berbagai kecelakaan kereta api, menjadi stigma buruk terhadap angkutan massal puluhan tahun. Harapan baru muncul tatkala PT. Kereta Api Indonesia (KAI) dipimpin Ignasius Jonan, Chief Executive Officer (CEO) yang visioner. KAI berbenah dan menjadikan kereta api jauh lebih menyenangkan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Ignasius mengubah KAI yang rugi menjadi untung.

Indonesia perlu belajar dari Tiongkok. Meski memiliki jalan tol yang sangat bagus, menghubungkan hampir semua kota, Tiongkok masih mengembangkan sarana kereta api. Tiongkok dikenal sebagai pemilik jalur kereta cepat terpanjang di dunia. Kereta api di Tiongkok selalu penuh, setiap kota kecil yang dilewatinya terbuka bagi kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.

Tegar Hadapi Tantangan
Indonesia sangat tertinggal dari Tiongkok karena banyak pemimpin tidak visioner, tidak tulus dalam melayani serta sistem hukum yang tidak jelas. Hal ini dimanfaatkan oknum-oknum untuk memperkaya diri. Lihat saja media massa belakangan ini yang terus saja memberitakan kasus korupsi yang melibatkan pemimpin di pusat maupun daerah, serta elite politik DPR, birokrat, dan pengusaha. Sungguh mengagetkan, bahkan ketua Mahkamah Konstitusi, sebuah institusi yang sangat terhormat dengan kekuasaan sangat besar, tertangkap tangan korupsi. Mereka itulah contoh pejabat yang melupakan kepentingan publik.

Kita bisa melihat contoh dirut Garuda, dirut PT. KAI dan kegigihan Gubernur DKI Joko Widodo untuk memulai proyek monorel setelah lima tahun karena pro-kontra antara kepentingan pemerintah daerah dan pusat. Para pejabat ini bekerja keras untuk memberikan pelayanan terbaik bagi penumpang. Lalu, mengapa angkutan laut juga tidak berbenah dengan mencari pemimpin yang visioner, memikirkan bagaimana memberikan pelayanan terbaik bagi penumpang?

Para walikota, bupati, dan gubernur, sudah harus berinvestasi untuk membangun sarana transportasi di daerah masing-masing. Anggaran daerah apabila dikelola dengan baik, akan cukup untuk investasi sarana transportasi, bukan hanya habis untuk pekerjaan rutin yang tidak memberikan stimulasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Perencanaan pembangunan infrastruktur kita selalu kalah cepat dibandingkan dengan pertumbuhan penggunanya. Padahal, Indonesia merdeka terlebih dulu dibandingkan Tiongkok.

Pada awal 80-an, kita bertumbuh pesat dibandingkan Tiongkok. Namun kini, kita saksikan bagaimana Tiongkok jauh meninggalkan kita. Indonesia lebih kaya karena natural resources, cuaca dua musim, dan jumlah penduduk. Tapi, mengapa para wakil rakyat dan pemimpin bangsa tidak berintrospeksi untuk membawa bangsa ini lebih maju dan sejahtera?

Para wakil rakyat dan pemimpin bangsa hendaknya jangan hanya pintar berbicara atau mengumbar janji, sehingga tak banyak yang bisa dihasilkan. Belajarlah dari apa yang dikatakan Martin Luther King, Jr: “Nilai utama manusia bukanlah pada saat nyaman dan leluasa, melainkan bagaimana ia tetap berdiri pada saat menghadapi tantangan dan pertentangan.”

Tandean Rustandy, Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.