Suara Pembaruan, 23 Januari 2009
Tandean Rustandy
Tidak pernah terbayangkan situasi ekonomi dunia demikian terpuruk saat ini. Pada 2006 dan 2007, indeks pasar modal di setiap negara meningkat. Korporasi-korporasi mencapai prestasi yang mengagumkan, khususnya di sektor keuangan dan pertambangan. Keuntungan, yang mencapai rekor itu, memberikan efek kepada para profesional sebagai pengelola dengan mendapat bonus tahunan yang spektakuler.
Memang ada ekonom yang memprediksi penurunan pertumbuhan, tapi siapa pun tidak menyangka kondisi ekonomi akan demikian hancurnya dibandingkan dengan performance masing-masing korporasi pada 2007. Indeks pasar modal dunia jatuh lebih dari 50 persen, tidak terkecuali Tokyo, NYSE, Hong Kong. India, Tiongkok, dan Brasil yang menjadi “permata” incaran dunia.
Sangat ironis, investor-investor mencari selamat dengan cut lost portofolio akibat “krisis kepercayaan”. Siapa yang percaya bank-bank “super” rugi ratusan miliar dolar? Pasar uang mendadak menjadi begitu ketat dan suku bunga “libor” mencatat rekor tertinggi. Walau masing-masing bank sentral telah memotong suku bunga dan mengucurkan bantuan yang sangat besar untuk menstabilkan sektor keuangan dan pasar modal, chaos tetap terjadi. Para investor menjadi skeptis, ketakutan the worse has not rich the bottom, jadi masing-masing mencari selamat.
Pasar komoditas jatuh demikian cepat seperti crude palm oil (CPO), karet, kopi, dan beras. Minyak bumi pun sudah terkoreksi hampir 60 persen dari puncak harga pada Juli 2008. Orang terkaya di Indonesia, menurut majalah Forbes edisi 13 Desember 2007, mengalami kesulitan besar mempertahankan jabatan terkayanya. Siapa percaya?
Inilah realitas problem yang dialami setiap negara. Negara-negara penghasil komoditas pertanian, pertambangan, minyak dan gas maupun manufaktur, mendadak mengalami kesulitan ekspor walau harga sudah dikoreksi secara signifikan. Semua bidang sepertinya buntu, sekeliling gelap-gulita, di mana-mana terjadi tsunami ketidakpercayaan.
Melihat situasi demikian, kita di Indonesia seharusnya tetap mengucapkan syukur karena kondisi kita tidak seburuk negara-negara maju. Sekalipun mereka memiliki sistem pemerintahan yang sangat baik, tingkat pendidikan yang tinggi, legal sistem yang berintegrasi, tingkat kemakmuran yang menyejahterakan, namun tsunami krisis ekonomi justru berawal dari sana.
Transportasi
Saat ini, harga minyak dunia di bawah US$ 50 per barel. Dengan menurunnya harga minyak, produk downstream minyak ikut menurun dengan sendirinya. Harga CPO relatif murah di pasaran, begitu pula produk downstream-nya ikut turun, khususnya harga minyak goreng. Kita bersyukur dengan harga minyak bumi turun, sekarang biaya transportasi antarpulau serta antarkota terkoreksi, memberikan stimulasi bagi industri manufaktur, serta meningkatkan daya beli masyarakat karena alokasi biaya transportasi akan lebih rendah.
Dengan kondisi demikian, lebih baik kita fokus ke dalam negeri dengan potensi jumlah penduduk yang besar. Dengan fokus pada pangsa pasar di dalam negeri, produk berkualitas yang dipasarkan akan meningkat dengan harga yang lebih murah.
Selain itu, subsidi BBM pemerintah juga menjadi berkurang dan mungkin saja tidak perlu disubsidi lagi. Dengan demikian, dana subsidi dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Apabila infrastruktur jalan dan pelabuhan akomodatif, pengangkutan hasil-hasil produksi ke pasar akan menghemat biaya, waktu dan pada akhirnya menurunkan harga jual ke pasar.
Alokasi dana yang cukup untuk peningkatan fasilitas kesehatan membuat masyarakat yang sehat akan lebih produktif. Sedangkan dengan adanya dana untuk pendidikan, pemerintah dapat memperbaiki kesejahteraan guru dan memberikan sekolah gratis untuk masyarakat, sehingga makin banyak orang Indonesia dapat melanjutkan pendidikan lebih tinggi, sebagai salah satu syarat mengentaskan kemiskinan dan mengangkat derajat bangsa.
Di sisi lain, LNG dan batu bara, yang begitu melimpah di Indonesia, dapat kita tingkatkan pemanfaatannya sebagai bahan bakar untuk industri-industri menggantikan BBM yang lebih mahal. Apabila pabrik pupuk mendapat suplai LNG yang konsisten, biaya produksi pupuk akan turun dan harga jual ke petani menjadi terjangkau. Hal ini bisa menghasilkan swasembada di sektor pertanian.
Pertanian tentunya bisa menyerap banyak tenaga kerja, hal mana merupakan berkat terselubung (blessing in disguise). LNG juga bisa didayagunakan sebagai energi pembangkit listrik, begitu pula batu bara, asalkan dijaga tidak terjadi pencemaran lingkungan.
Dengan memanfaatkan LNG dan batu bara sebagai pengganti BBM secara maksimal, Indonesia tidak perlu mengimpor BBM. Kebutuhan akan dolar berkurang dan nilai tukar rupiah menjadi stabil. Selain itu, karena LNG disalurkan melalui sistem pipanisasi, mobil pengangkut BBM menjadi berkurang, jalanan tidak cepat rusak dan kemacetan berkurang, lingkungan hidup menjadi lebih ramah dan polusi berkurang.
Tahun ini produk CPO yang dihasilkan akan mencapai 19,4 juta ton. Pemanfaatan CPO sebagai bahan baku utama untuk industri makanan, kosmetik, dan bahan pencuci menjadi prioritas utama bagi investor untuk membangun pabrik-pabrik di dalam negeri, sehingga bisa menghasilkan nilai tambah. Melimpahnya CPO bisa juga dipergunakan sebagai salah satu bahan baku biodiesel dan program ini akan mempercepat misi pemerintah untuk menggantikan sebagian BBM alam dengan BBM nabati.
Daya Beli
Dalam urusan bisnis maupun kehidupan sehari-hari, kita mesti menghindari sikap hidup hedonisme, yaitu praktik mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kondisi dan daya beli masyarakat. Kita sering mendengar, “hemat pangkal kaya,” pepatah lain mengatakan, “besar pasak dari tiang.” Hal inilah yang tampaknya telah terjadi, di mana orang mudah berbelanja tanpa kebutuhan yang jelas atau kredit rumah/mobil melebihi penghasilan tetapnya.
Memang, akhir-akhir ini sangat mudah bagi orang untuk hidup melebihi penghasilannya dengan menggunakan kartu kredit. Padahal, bunganya sangatlah tinggi dan tidak mengherankan jika terdapat begitu banyak kredit macet. Pakar ekonomi mengatakan, krisis kredit macet saat ini merupakan yang terburuk dalam 50 tahun terakhir.
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan akselerasi yang semakin tinggi, kita harus cukup cerdas mengambil hikmah dari krisis ekonomi ini. Resesi ekonomi kali ini justru menjadi semacam blessing in disguise bagi Indonesia. Kalau ekonomi sedang stabil dan kemakmuran meningkat, kita tidak begitu peduli dengan efisiensi dan kaidah-kaidah ekonomi. Tetapi, jika ekonomi dunia mengalami resesi, kita menjadi lebih sadar dan berubah, lebih kreatif untuk menemukan terobosan-terobosan baru. Sudah saatnya peristiwa ini kita jadikan pelajaran yang sangat berharga. Seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki negeri ini harus dimanfaatkan sebaik-baiknya secara optimal untuk kemajuan perekonomian bangsa dan mengadakan turn around agar betul-betul dapat menjadi blessing in disguise.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Direktur Riset dan Studi Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School