Suara Pembaruan, 4 Januari 2007
Binsar A. Hutabarat
Berita seharusnya menunjuk pada fakta, lazimnya kita sebut sebagai berita benar, tapi ternyata tidak selalu demikian. Berita tidak jarang terpisah jauh dari fakta, berita seringkali juga tidak mampu menunjuk pada fakta, kita menamakannya berita bohong, meski penyampai berita adalah orang yang dipercaya atau memiliki kompetensi untuk menyampaikan berita benar.
Mengucapkan berita tanpa mampu menunjuk pada fakta jauh lebih mudah dibandingkan menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta. Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengerti, sehingga ada banyak berita tidak mampu menunjuk pada fakta. Parahnya, akibat buruk yang dihasilkan sering kali tak pernah terpikirkan.
Berita tanpa fakta yang begitu mudah terucap biasanya berdampak buruk bagi orang yang membutuhkan berita itu, realitas ini terbaca dalam peristiwa hilangnya pesawat Adam Air, pada penerbangan ke Manado dari Surabaya 1 Januari lalu, dan diberitakan Jatuh di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Berawal dari pengumumam Komandan Pangkalan Udara Marsekal Pertama Eddy Suyanto yang mengatakan bahwa bangkai pesawat Adam Air telah ditemukan di Desa Rangoan, Kecamatan Matanga, Kabupaten Poliwali Mandar, pukul 08.15 WIB.
Media elektronik dan surat kabar tanpa ragu menyebarluaskannya, apalagi berita itu dikonfirmasikan oleh pernyataan Menteri Perhubungan Hatta Rajasa pukul 09.15 WIB tentang telah ditemukannya pesawat tersebut dengan 90 korban tewas dan 12 orang selamat. Berita itu menimbulkan harapan bagi keluarga penumpang.
Mereka berharap salah satu dari 12 orang yang selamat itu adalah keluarga mereka. Tidak heran, seorang istri yang sedang hamil tujuh bulan berusaha ke Makassar dengan harapan dapat menjumpai suaminya yang termasuk salah seorang dari 12 penumpang yang selamat.
Pukul 12.45 WIB, Marsekal Eddy Suyanto kembali menegaskan penemuan pesawat Adam Air dengan sedikit perubahan namun sangat penting bahwa 12 orang yang dinyatakan selamat belum ditemukan, masih dicari, tetapi 90 korban meninggal telah ditemukan.
Berita ini mengecilkan harapan keluarga korban, karena 12 orang yang diberitakan selamat, ternyata belum ditemukan, bisa jadi nasibnya akan sama dengan 90 korban lainnya.
Pukul 17.26 WIB, rombongan wartawan yang sudah berjalan 30 kilometer dari Desa Rangoan, menemukan fakta bahwa warga setempat belum melihat satupun jenazah korban Adam Air. Tetapi pukul 18.00 WIB, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) tetap menyatakan laporan tentang adanya korban tewas 90 orang, meskipun tim SAR tidak bisa bergerak karena hujan.
Herannya, walaupun tim SAR belum tiba pada lokasi reruntuhan pesawat, aparat yang berwenang, dalam hal ini KNKT, begitu bernafsu untuk memberitakan berita yang tidak terkait dengan fakta.
Pukul 18.50 WIB, Adam Air menggelar jumpa pers dan menyatakan bahwa 90 orang tewas dan 12 selamat adalah informasi yang bersumber dari masyarakat. Padahal masyarakat yang mana masih menjadi misteri, karena sumber utama yang dianggap sebagai pembawa berita menampiknya.
Di sini tampak bahwa orang-orang yang dipercaya sebagai pembawa berita benar, masih belum mampu memahami pentingnya berita yang harus disampaikan.
Alasan desakan keluarga sebagai pembenaran penyampaian berita tanpa fakta, tentu saja tidak dapat dibenarkan.
Pukul 19.00 WIB, Menteri Perhubungan Hatta Rajasa menggelar jumpa pers untuk mengoreksi berita bohong. Kabar palsu itu tersebar dari masyarakat ke kantor Kepolisian Resor Polewali Mandar, diteruskan ke kantor Kepolisian Wilayah Pare-pare, lantas ke Kepolisian Daerah Sulawesi Barat dan Panglima Kodam hingga ke tangan Menteri.
Melihat alur berita yang masuk ke tangan Menteri dan kemudian diberitakan kepada masyarakat tidaklah beralasan jika berita bohong itu semata-mata ditimpakan pada masyarakat pembawa berita pertama, sedang pembawa berita pertama pun tidak mampu diketahui secara tepat.
Antara Kata dan Fakta
Di sini tampak bahwa orang-orang yang diberikan kepercayaan oleh masyarakat sebagai pembawa berita benar, masih jauh dari kesadaran akan besarnya tanggung jawab yang diembannya.
Filsafat bahasa mengajarkan kepada kita, bahwa kata (bahasa) bukanlah fakta. Kata hanya menunjuk pada fakta, dan kata bukan fakta, sehingga kata akan kehilangan nilainya ketika ia tidak mampu menunjuk pada fakta.
Namun, kata yang tidak menunjuk pada fakta tidak akan kehilangan otoritasnya, kata tetap berkuasa membawa pendengarnya pada apa yang diperkatakan. Kata yang memiliki otoritas akan sangat berbahaya ketika kata tidak mampu menunjuk pada fakta, bukan saja kata menjadi tidak bernilai, tetapi berdampak pada individu yang menjadi pendengar.
Kata menjadi menyesatkan pendengar dan melahirkan tindakan-tindakan yang tidak produktif bahkan menghancurkan pendengar yang menjadi penurut berita, itulah yang sering kali dilupakan.
Kemudahan mengucapkan kata (berita) sering kali dianggap tidak berakibat fatal. Padahal setiap berita (kata) yang terucap entah ia menunjuk pada fakta atau tidak, tetap tidak kehilangan otoritasnya.
Artinya, berita (kata) memiliki otoritas membawa pendengar pada apa yang benar atau penyesat, apalagi ketika sang pemberita mendapatkan kepercayaan masyarakat, otoritas makin kuat menyertai berita, akibatnya semua berita akan ditelan mentah-mentah oleh pendengar.
Kenyataan ini sangat merugikan pendengar, karena itu pihak yang memiliki otoritas harus lebih berhati-hati untuk menyampaikan berita.
Harapan keluarga penumpang pesawat Adam Air menemukan anggota keluarganya sebagai bagian dari 12 orang yang selamat, tentu saja akan membuat mereka berjuang keras dengan segala upaya untuk segera menemukannya, jika mungkin segera menuju lokasi ditemukannya jatuhnya pesawat.
Namun mimpi bertemu dengan keluarga walau harus mengorbankan segalanya menjadi tidak bermakna ketika berita yang didengar tidak menunjuk pada fakta, karena ketika mereka menuju lokasi yang diberitakan, ternyata mereka tidak menemukan apa yang dimimpikan.
Ini adalah penderitaan baru yang tidak harus ditanggung jika pembawa berita bertanggung jawab menyeleksi berita yang harus disampaikan.
Berita bohong yang menyesatkan masyarakat Indonesia tidak akan terdengar jika kita memahami bahwa kata (berita) memiliki otoritas.
Menyalahkan pembawa berita pertama boleh saja, tetapi menerima berita tersebut bulat-bulat tanpa mencari fakta adalah kesalahan lain, dan tidak bisa dianggap kecil, apalagi berita itu telah menjadi makanan masyarakat pada skala nasional.
Pejabat berwenang tidak hanya perlu meminta maaf, tetapi harus menyadari bahwa tugas menyampaikan berita benar adalah sangat penting, sehingga peritiwa pendustaan pada skala nasional ini tidak terulang kembali.
Memang tugas untuk menyampaikan berita yang menunjuk pada fakta tidaklah mudah, sang pemberita harus berjerih lelah menjumpai fakta yang ditunjuk oleh kata atau berita, setidaknya memastikan ada perjumpaan dengan fakta barulah ada berita yang disampaikan.
Pekerjaan berat ini akan menjadi kebahagiaan seandainya kita tahu bahwa pendengar berita akan sangat diuntungkan dengan berita benar.
Apalagi di tengah-tengah dunia yang gemar menyampaikan berita bohong untuk membinasakan sesamanya, yang terbaca pada banyaknya pertentangan, kerusuhan, penganiayaan, pembunuhan, berdasarkan berita tanpa fakta.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society