Investor Daily, 23 September 2010
Tandean Rustandy
Terjadinya perbuatan tercela dalam di dunia bisnis nampaknya tidak menurun, bahkan cenderung semakin meningkat. Tindakan mark up, inkar janji, kolusi dan suap, tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, serta tidak memedulikan lingkungan hidup merupakan contoh pengabaian pengusaha terhadap etika bisnis.
Mungkin ada yang bertanya, apakah bisnis memang perlu memperhatikan etika? Bukankah bisnis dan etika merupakan dua hal yang berbeda? Sering pula ada anggapan bahwa etika bisnis itu hanya terdapat dalam teori, kenyataannya, jika mau untung, sering kali kita melupakan etika. Benarkah demikian?
Sebelumnya kita harus mengetahui pengertian etika. Banyak definisi yang berkaitan dengan etika. Etika berbeda dengan hukum atau regulasi. Jika melanggar hukum, sanksinya jelas berupa pidana atau perdata. Sedangkan melanggar etika, sanksinya tidak jelas, hanya sanksi moral semata atau sanksi dari Yang Maha Kuasa. Maka, melanggar etika belum tentu belum tentu melanggar hukum. Akibatnya, sering etika tidak begitu diperhatikan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan etika adalah “ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).” Menurut Wikipedia, etika adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Tetapi, menurut John Calvin, etika tertinggi adalah dari Pencipta manusia.
Ekonomi Nasional
Hukum yang Tuhan berikan justru memberikan kebebasan manusia untuk benar-benar menjadi manusia yang seutuhnya yang sesuai dengan keinginan Pencipta. Seharusnya sanksi moral yang umumnya tidak jelas merupakan sanksi yang paling berat bagi umat beriman.
Kita sering kali terjebak dengan apa yang terlihat dan menempatkannya sebagai sesuatu yang lebih bernilai daripada hal-hal yang tidak kelihatan. Kita tidak menyadari bahwa sangat banyak hal yang tidak kelihatan, tetapi justru memiliki porsi yang luar biasa besar dan penting.
Sebagai contoh, seroang pedagang kamera menjual kemera dengan mutu rendah atau cacat. Penjual berhasil menyembunyikan cacat itu, sehingga tidak diketahui pembeli. Penjual mengingatkan pembeli bahwa barang yang telah dijual tidak bisa ditukar atau dikembalikan. Setelah beberapa waktu, pembeli komplain dengan meminta untuk mengantinya. Penjual berdalih, bahwa waktu terjadi transaksi barangnya baik-baik saja. Salahkah si penjual?
Secara hukum, bisa jadi benar. Tetapi, dari sisi etika bisnis, jelas-jelas salah. Dari semula sebenarnya penjual mengetahui barang tersebut ada cacat, tetapi tidak memberitahu si pembeli. Dalam jangka pendek, bisnis yang tidak memperhatikan etika mungkin mendatangkan keutungan. Tetapi, dalam jangka panjang, akan terbentuk opini masyarakat mengenai toko tersebut, yaitu menjual barang rusak atau cacat. Lambat laun pembeli cenderung menurun. Jadi, sanksi etika itu hanya berbentuk sanksi moral dan baru terlihat dalam jangka panjang.
Contoh di atas memperlihatkan bahwa etika itu penting. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai sebuah aturan main yang tidak mengikat, karena bukan hukum. Tetapi, dalam praktik bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi pedoman bagi aktivitas bisnis yang dijalankan.
Pengabaian etika bisnis tidak hanya berdampak kerugian bagi masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka. Peribahasa mengatakan, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang.” Ketika seseorang meninggal, ia akan meninggalkan namanya. Problemnya adalah apa yang dilakukan selama hidup.
Banyak orang yang mengejar fast money dan easy money dengan segenap tenaga, bahkan tidak memikirkan orang lain. Apakah orang akan mengenang namanya karena banyaknya uang yang dimiliki? Mungkin namanya akan dirusak karena banyak orang dirugikan semasa hidup. Kita harus bekerja baik-baik, peduli terhadap orang lain atau pun juga alam sekitar, agar reputasi kita dikenang dengan baik nantinya.
Bisnis pada waktu dulu hanya berdasarkan trust antar individu. Tidak berbelit-belit dan rumit seperti sekarang. Kita bisa melihat kesederhanaan di dalamnya. Sederhana itu tetap yang terbaik. Namun, sering “kemajuan” zaman, standar moral etika pun mengalami kemunduran luar biasa. Etika kerap dengan gampang dilanggar karena ego individu yang tak terkendalikan, dalam hal ini adalah pelaku bisnis yang serakah.
Kredibilitas Bangsa
Etika harus tumbuh dari moral seseorang berdasarkan iman yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Orang beriman dituntut untuk manyaksikan imannya dalam kesehariannya. Bukan menebar kemunafikan dengan cara-cara ekstrem, tetapi dengan ketulusan dalam hatinya. Ikan yang terbawa arus adalah ikan yang mati, namun ikan yang melawan arus, itu ikan yang yang hidup.
Orang bijak bisa membedakan mana salah atau benar, walau banyak yang menentangnya, ia akan terus melawan arus. Pelaku-pelaku bisnis juga seharusnya sama. Setiap kita diberikan hati nurani dari Tuhan sebagai “alarm” terhadap sesuatu yang salah. Kecuali ia tekan hati nuraninya, sehingga makin lama tidak bersuara lagi, lama-kelamaan seperti ikan mati yang ikut arus.
Kutipan menarik dari Abraham Lincoln: “You may fool all of the people some of the time, you can even fool some of the people all the time, but you can’t fool all of the people all of the time.“ Kebenaran tidak dapat ditutupi. Kredibilitas bangsa dibangun dari individu-individu. Kebangunan yang sejati dari suatu bangsa ditandai dengan kebangunan etika dari masyarakatnya. Mari kita bersama-sama hidup dengan beretika, termasuk berbisnis.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society, Alumnus MBA Booth School of Business, University of Chicago