Investor Daily, 13 Agustus 2010
Tandean Rustandy
Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) periode kedua telah melewati masa setahun. Berbagai upaya perbaikan telah dicapai. Namun, sebagai warganegara kita perlu memberikan masukan serta kritik membangun kepada pemerintah. Semua itu demi kesejahteraan dan kemajuan bangsa Indonesia.
Sejak diberlakukannya Asean-China Free Trade Area (ACFTA) Januari 2010, realisasi impor-ekspor dengan Tiongkok meningkat pesat. Sekalipun industri-industri ada yang terkena imbasnya, tapi secara keseluruhan itu masih dalam batas toleransi.
Pada awalnya ada kekhawatiran peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) tetapi kenyataannya tidak demikian. Kredit bermasalah (NPL) membaik, keuntungan bank-bank bahkan meningkat signifikan pada semester 1 tahun 2010. Hal yang sama dialami para emiten manufacturing yang mencatat sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Data indikator makro cukup memuaskan. Produk domestik bruto (PDB) tahun 2010 yang digunakan dalam APBNP sebesar 5,8%, lebih dari tahun sebelumnya 4,8%. Pemerintah juga berkomitmen mengurangi utang, realisasi rasio utang terhadap PDB juga sudah menurun. Faktor utama penurunan rasio tersebut karena PDB meningkat tajam.
Fundamental ekonomi domestik membaik tercermin dari meningkatnya investasi asing dan cadangan devisa. Pada 2010 investasi asing tumbuh sebesar 8,7% terutama di sektor eksploitasi alam disbanding tahun 2009 yang hanya 2,9%. Pada Juli 2010, cadangan devisa tercatat US$76,3 miliar, meningkat dibanding akhir Desember 2009 sebesar US$66,1, sekalipun faktor utama peningkatannya dari dana investasi jangka pendek yang masuk ke pasar modal dan pinjaman.
Infrastruktur dan Listrik
Selain beberapa hal menggembirakan di atas, masih banyak hal yang belum dibenahi, terutama infrastruktur, tarif dasar listrik (TDL), birokrasi, dan inflasi. Pertama, infrastruktur semakin tidak memadai. Akibatnya, sektor riil kurang gerak. Banyak kondisi jalan utama antarkota maupun jalan menuju kawasan pabrik yang padat dilalui tetapi kurang diperhatikan pemeliharaannya.
Jalan tol Tangerang-Merak, misalnya, setiap kali dilalui, pasti ada bagian jalan yang sedang diperbaiki sehingga jalurnya menyempit dan sering terjadi kemacetan. Perbaikannya tidak pernah selesai. Pada dasarnya kenaikan tarif jalan tol tidak terlalu bermasalah asalkan diiringi peningkatan pelayanan dan kualitas jalan.
Kedua, tentang kenaikan TDL. Indonesia masih sulit menyediakan pasokan listrik yang memadai. Ini terlihat begitu seringnya pemadaman listrik. Listrik di Pulau Jawa dan Bali mungkin “cukup”, namun di pulau-pulau lainnya sangat memprihatinkan. Pda kondisi demikian, DPR dan pemerintah malah menyetujui kenaikan tarif listrik rata-rata 10% untuk keseluruhan, dan untuk industri maksimal 18%.
Kenaikan TDL pasti akan meningkatkan pendapatan PLN. Hal ini bisa terjadi karena hak monopoli. Pelanggan tidak punya pilihan, adilkah ini? Kualitas pelayanannnya sangat timpang dibanding dengan kenaikan TDL dikarenakan tidak ada persaingan. hujan turun sebentar, listrik sedang mati. Bagaimana dengan industri yang tidak boleh ada gangguan listrik walau hanya sebentar?
Ketiga, tentang birokrasi. Pengurusan izin terutama dari pusat sampai daerah masih saja berbelit-belit dan meemrlukan waktu yang cukup lama meski reformasi sudah 12 tahun. Ada menteri yang tidak tahan melihat kelambanan SDM di departemennya menyelesaikan tugas. Menteri tersebut menggeser dan merombak supaya produktivitas bisa lebih efisien. Kenyataannya menteri tersebut di PTUN-kan oleh stafnya. Alangkah ironis, seseorang ingin mereformasi departemennya menjadi lebih baik, bukannya didukung malah dituntut.
Hal ini masih ditambah lagi dengan kenyataan di lapangan, yakni mentalitas pegawai pemerintah yang masih mau dilayani bukan melayani. Birokrasi ini tidak fair bagi kalangan pengusaha dan akan memengaruhi calon-calon investor asing. Mereka pasti berpikir jika pengurusan usaha dan infrastruktur begitu sulit, untuk apa mereka berinvestasi.
Keempat, tentang kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Untuk menjaganya, diperlukan pengontrolan angka inflasi secara ketat. Bagaimana mungkin BI mampu menjaga inflasi hanya dengan pengawasan moneter saja? Sangat diperlukan dukungan dari sektor riil untuk mampu menghasilkan produk yang berkualitas dengan harga terjangkau. Hanya dengan demikian kestabilan inflasi tetap terjaga.
Tapi pernyataannya, bagaimana mungkin produsen mampu memproduksi produk dengan kualitas prima dan harga yang terjangkau apabila jalan antarkota maupun jalan tol banyak yang rusak, sehingga mengakibatkan biaya transportasi meningkat. Biaya listrik yang tidak murah dengan pelayanan di bawah standar akan meningkatkan biaya produksi. Ini bukanlah target pemerintah untuk mengatasi garis kemiskinan, karena dengan mengecilnya nilai rupiah hal itu akan menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat bawah.
Tegas dan Bijak
Kita merindukan SBY, presiden pilihan rakyat dengan legitimasi kuat, untuk tegas menegakkan hukum terhadap pengusaha maupun penguasa yang bekerja sama mencari kekayaan dengan caraa yang tidak patut. Kita percaya SBY akan membawa Indonesia menjadi lebih baik dalam sisa empat tahun masa kepemimpinannya.
Tapi hal ini tidaklah sederhana karena harus setia dengan perkara-perkara kecil dan peduli terhadap kehidupan rakyat banyak. Hanya dengan demikian kemajuan ekonomi dan kesejahteraan rakyat bisa tercapai. Ibaratnya, kita merindukan pemimpin bangsa yang tegas namun bijaksana seperti peribahasa Arab, ‘Lebih baik balatentara domba dipimpin seekor singa daripada balatentara singa dipimpin seekor domba’.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society, Alumnus MBA Booth School of Business, University of Chicago