Bebas HIV/AIDS Syarat Menikah

Investor Daily, 16 Juni 2007
Binsar A. Hutabarat

Melejitnya pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia telah mengkhawatirkan banyak pihak, terutama keluarga-keluarga yang memang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan kesucian pernikahan.

Sejak tahun 2000, Indonesia telah termasuk negara dengan tingkat epidemi terkonsentrasi karena terdapat kantung-kantung dengan prevelensi HIV lebih dari 5%. Pertambahan jumlah penderita HIV/AIDS sangat mengkhawatirkan, karena jumlah yang tidak terdata jauh lebih besar dibandingkan data yang ada, seperti fenomena gunung es. Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia menurut estimasi saat ini mencapai 200.000 kasus, suatu kenyataan yang sesungguhnya kemungkinan masih lebih besar lagi. Jika tidak diwaspadai, Indonesia akan menyusul Afrika sebagai rekor penderita HIV/AIDS tertinggi di dunia.

Pertambahan jumlah tersebut terutama terjadi di kota-kota besar dengan kasus terbesar lewat jarum suntik pada para pengguna narkoba, disusul seks bebas dengan berganti-ganti pasangan. Kasus HIV/AIDS di Papua, misalnya, terbesar adalah melalui hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan. Tidaklah mengherankan bahwa kemudian ada gugatan untuk menyelematkan banyak orang dari bahaya tertular HIV/AIDS melalui pembatasan pernikahan dengan pemberlakuan syarat bebas HIV/AIDS untuk menikah. Apalagi 73% penderita HIV/AIDS di Indonesia adalah laki-laki.

Berdasarkan data di atas dapat dipahami, wanita dan anak-anak adalah komunis yang paling rentan dari penularan terhadap HIV/AIDS, karena itu muncul desakan terhadap Departemen Agama untuk mengeluarkan peraturan surat bebas HIV/AIDS sebagai syarat menikah. Lantas, apakah ini bukan merupakan pembelengguan terhadap hak privat seseorang? Kita semua tahu, menikah adalah hak privat yang tidak boleh dicampuri apalagi dicabut oleh negara.

Penyebab Tuntutan
Adanya tuntutan surat bebas HIV/AIDS sebagai pembatas pernikahan yang ditujukan kepada Departemen Agama mengindikasikan bahwa lembaga keagamaan masih merupakan institusi paling strategis dalam menekan lajunya pertambahan penderita HIV/AIDS. Ini tentu saja sangat membanggakan. Survei terkini melaporkan, tokoh-tokoh agama memang masih lebih dipercaya dibandingkan tokoh-tokoh politk. Namun, pada sisi lain hal itu juga mengindikasikan sikap ketidakdewasaan masyarakat Indonesia, yakni mengizinkan campur tangan pemerintah untuk mendikte dengan siapa seseorang menikah. Rekomendasi itu bisa menyebabkan mengguritanya tangan pemerintah pada bidang-bidang privat lainnya.

Tingginya pertambahan jumlah penderita AIDS umumnya disebabkan melemahnya lembaga keluarga di Indonesia yang menafikan pembimbingan pranikah dari lembaga agama. Karena itu, jika Depag mengeluarkan syarat bebas HIV/AIDS untuk menikah, pasangan yang akan melangsungkan pernikahan mau tidak mau harus menerima pembimbingan pranikah dari lembaga keagamaan.

Harus diakui, banyak kasus perceraian terjadi karena dasar utama pernikahan mereka adalah “suka sama suka”. Dengan dasar suka sama suka inilah kemudian tercipta kecenderungan pendustaan yang dilakukan penderita HIV/AIDS untuk menikahi pasangannya yang tidak mengidap HIV/AIDS. Dalam kondisi ini, tingkat penularan HIV/AIDS akan semakin tinggi. Itulah sebabnya timbul desakan untuk digulirkannya surat bebas HIV/AIDS sebagai syarat menikah. Hal ini dilakukan guna melindungi wanita dari tipu daya atau pendustaan oleh pasangannya. Pada gilirannya hal ini akan berakibat langsung terhadap anak-anak.

Pendidikan Seks
Tuntutan dikeluarkannya peraturan pemilikan surat bebas HIV/AIDS oleh Departemen Agama sebagai syarat menikah jelas merupakan pelarian dari tanggung jawab keluarga serta penyangkalan terhadap hak dan kebebasan individu. Negara dapat saja mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah untuk memeriksakan kesehatannya sebagai usaha melindungi warganya, namun kebebasan memilih seharusnya tetap ada pada individu.

Seandainya keluarga dan pemerintah mampu menyadarkan akan bahaya dari HIV/AIDS tentunya tak ada seorang pun yang ingin berspekulasi menikah dengan penderita HIV/AIDS. Demikian juga penderita HIV/AIDS tidak akan bernafsu menikahi orang yang dicintainya apabila ia tahu bahwa kondisinya akan membahayakan pasangannya.

Pada titik ini terlihat pentingnya pendidikan seks dalam keluarga. Sebagaimana tujuan dari pendidikan adalah untuk memfasilitasi peserta didik dengan pengetahuan yang benar, maka mestinya pendidikan seks dalam keluarga, sekolah, dan lembaga lainnya tetap terjaga dengan baik. Dengan demikian, pembatasan kebebasan individu melalui persyaratan surat bebas HIV/AIDS untuk menikah tidak diperlukan.

Pemeriksaan terhadap pasangan yang akan menikah serta ibu hamil yang kemungkinan terjangkit HIV merupakan langkah lain untuk membebaskan masyarakat dari penyakit yang mematikan itu. Apalagi kemajuan kedokteran kini memungkinkan anak dalam kandungan serta istri dari penderita HIV/AIDS dapat bisa terdeteksi dengan baik. Jika pekerjaan ini dilakukan, anak pasangan yang mengidap HIV/AIDS tidak akan mewariskan penyakit itu pada anaknya.

Pernikahan adalah hak individu. Oleh karena itu, negara tidak dapat melarang atau mencampurinya. Ada banyak cara untuk menjauhi masyarakat dari penyakit yang mematikan ini. Salah satu cara yang “murah” sekaligus sangat efektif dalam memerangi perkembangan HIV/AIDS, yakni dengan menguatkan peran keluarga dan agama serta kampanye berkala mengenai bahaya HIV/AIDS.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.