Aparatus Koersif

Suara Pembaruan, 17 April 2010
Binsar A. Hutabarat

“Kekerasan selalu saja melahirkan kekerasan. Negara yang mengedepankan kekerasan terhadap rakyatnya niscaya akan menuai kekerasan. Menghilangkan aparatus koersif adalah cara bijak membangun hubungan yang damai dengan anggota masyarakat”.

Sekitar 3.000 petugas gabungan Satuan Polisi Pamong Praja dan polisi diturunkan untuk membebaskan tanah PT Pelindo II (pelayaran Indonesia) sebuah badan usaha milik negara yang secara hukum berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara memenangkan sengketa pemilikan tanah seluas 5,4 ha di kawasan pelabuhan peti kemas Koja, Jakarta Utara, di dalamnya termasuk makam Mbah Priuk.
Namun, ahli waris Habib Hasan bin Muhammad al Haddad (Mbah Priuk) tetap bersikeras mempertahankan kepemilikan atas makam Mbah Priuk tersebut. Karena selain mengusai fisik atau lahan tersebut, dokumen atas lahan tersebut juga ada pada ahli waris tersebut. Apalagi mereka juga tahu bahwa makam Mbah Priuk merupakan situs sejarah yang harus dilestarikan.

Sengketa lahan itu sesungguhnya telah berlangsung lama, dan pembebasan lahan tersebut sudah pasti akan memicu konflik, apalagi makam tersebut merupakan makam kramat yang banyak dikunjungi peziarah. Dapat diduga bahwa akan banyak warga yang berpihak pada ahli waris untuk mempertahankan situs sejarah yang dikramatkan tersebut.

Aparatus Koersif
Jumlah petugas yang diturunkan untuk membebaskan lahan sengketa tersebut terbilang besar, ini membuktikan bahwa pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya terindikasi melakukan cara-cara koersi. Seperti dikatakan Ogley Roderick’c, setiap kali satu pihak mengontol prilaku pihak lain dengan ancaman, atau pemaksaan aktual, menyakiti, atau mengancam akan melenyapkan, maka ada koersi di sana.

Sebuah ancaman agar sukses harus memadai (Schelling, 1960), tiga ribu petugas gabungan Satpol PP dan polisi tentu saja akan membuat ahli waris dan warga berpikir ulang untuk menghalangi penertiban yang dilakukan petugas keamanan tersebut. Pemerintah bukannya mengambil jalan dialog dengan ahli waris dan warga setempat malahan memamerkan kekuatan aparatnya, ini adalah cara-cara koersif.
Jumlah aparat yang terbilang banyak itu jelas memiliki konsekuensi ancaman atas ketidakpatuhan yang cukup serius terhadap ahli waris makam Mbah Priuk serta warga yang berniat menghalangi tugas Satpol PP dan Polisi untuk membebaskan tanah milik PT Pelindo dalam upaya memperluas pelabuhan peti kemas tersebut demi memenuhi standar internasional.

Kebiasaan Satpol PP yang gemar melakukan kekerasan rupanya membuat mereka optimis bahwa jumlah mereka yang besar akan mampu menakut-nakuti warga yang ingin berpihak pada ahli waris Mbah Priuk. Atau paling tidak akan berpikir ulang ketika melihat demonstrasi gelar kekuatan aparat yang berjumlah besar tersebut. Namun, realitas yang dijumpai sungguh berbeda, warga bersama ahli waris bersikeras mempertahankan lahan makam Mbah Priuk, dan terjadilah bentrokan fisik antara anggota Satpol PP dan warga setempat.
Aksi brutal Satpol PP dengan menghajar warga yang bersikeras mempertahankan Makam Mbah Priuk, bahkan secara tak beradab menghajar anak-anak yang tertangkap secara brutal, ini bisa jadi didorong oleh kepanikan bahwa warga tampaknya tak memandang sebelah mata, gelar kekuatan pasukan yang berjumlah besar tersebut, dan untuk memperkuat ancaman tersebut, tindak kekerasan diperagakan.

Ancaman kemudian dilakukan dengan cara-cara kekerasan, bisa jadi ini dilakukan untuk meningkatkan kredibilitas ancaman aparat terhadap warga lain yang tetap membandel menghalang-halangi misi mereka. Seakan ingin menunjukkan bahwa ancaman mereka bukan sekedar main-main, tapi akan memiliki konsekwensi langsung pada warga yang coba melawan.

Malangnya, tindakan aparat bergerak lebih jauh, bukan lagi memamerkan jumlah yang banyak untuk mengancam warga, tapi juga bersikap membabi buta dengan melakukan tindak kekerasan. Aparat kehilangan kendali karena situasi yang ada, yang tak pernah terpikirkan, mereka tidak lagi dengan maksud mengancam tetapi menguasai lahan dengan cara-cara kekerasan, itulah sebabnya tindakan aparat tersebut terindikasi melanggar hak-hak asasi manusia.

Anthony Arblaster mengatakan, kekerasan mencakup setiap serangan fisik terhadap manusia yang dilakukan dengan niat membahayakan, menyakiti atau membuat penderitaan. Meskipun tindakan Satpol PP itu mungkin bertujuan untuk menghilangkan keberanian warga yang semakin banyak datang untuk berpihak pada ahli waris makam Mbah Priuk, tindakan tersebut jelas merupakan kekerasan yang tak dapat ditolerir.

Pecahnya perang terbuka antara Satpol PP dan polisi dengan warga setempat membuktikan bahwa cara-cara koersif dengan kekerasan bukan merupakan cara efektif untuk menuntut ketaatan warga.

Cara-cara koersif telah mengakibatkan, tiga nyawa anggota satpol PP melayang yaitu, Ahmad Tajudin (26) yang tinggal di Kebun Jeruk, Jakarta Barat, Israel Jaya (27), warga Jati Bening, Pondok Gede, Bekasi, dan Warsito Soepono (44), warga Komp. BPP, Jalan Kramat Jaya, Koja Jakarta Utara. Selain tiga orang meninggal dalam konflik Koja tersebut, terdapat 7 orang luka berat dan 137 luka ringan, 40 mobil dibakar dan 30 lainnya dirusak.

Menghapus Koersi
Tepatlah apa yang dikatakan Lieberman (1964), ancaman mungkin memadai dan kredibel namun tidak dianjurkan karena target ancaman mungkin tidak merespon secara rasional karena stress, menghindari informasi atau inkompetensi, dan fakta koersi mungkin menimbulkan kemarahan atau membuat hal-hal yang dilarang justru menjadi makin menarik. Bahkan, jika penindasan atas pembangkangan bisa menghalangi pemberontakan, pemerintah mungkin kehilangan legitimasinya dan kemampuan memobilisasi semangat komunal.
Tragedi Koja harusnya bisa menjadi pelajaran bagi pemerintah untuk tidak lagi melakukan cara-cara koersif yang menimbulkan frustasi rakyat dan akhirnya berujung pada tragedi yang memilukan seperti yang terjadi di Koja. Pemerintah dan aparat keamanan sepatutnya lebih mengutamakan pendekatan dialog, suatu pendekatan yang tidak saling mengalahkan tetapi menguntungkan semua pihak. Dengan jalan ini peristiwa kekerasan dapat diredam, dan jika mungkin dihapuskan sama sekali.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.