Sinar Harapan, 16 Maret 2011
Binsar A. Hutabarat
Maraknya kekerasan agama akhir-akhir ini sesungguhnya tak memiliki akar sejarah di negeri ini. Meningkatnya intoleransi agama di kota-kota besar yang kemudian berujung pada kekerasan agama yang sambung menyambung, terjadi karena negeri ini kehilangan kewaspadaannya terhadap ambivalensi ruang suci itu. Ambivalensi agama dalam penampakan agama pada ranah publik oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua”, “janus face” dimana agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian.
Sejarah negeri ini sebenarnya meneguhkan, agama bukan sumber masalah, dan kontribusi agama-agama sangat dibutuhkan dalam pembangunan bangsa. Karena itu founding fathers Indonesia secara bijak memutuskan untuk memisahkan agama dan negara, sekalipun tetap membuka pintu selebar-lebarnya bagi agama-agama dalam memberikan kontribusi positifnya bagi kehidupan masyarakat dan bangsa.
Mengatakan bahwa agama tidak layak berada di ruang publik sangat tidak berdasar. John Calvin jauh-jauh hari telah mengingatkan, Tidak ada batas jelas antara yang “sacred” dan “secular.” Mendikotomikan yang sakral dan sekular adalah tidak tepat. Peter Berger, seorang sosiolog agama juga mengakui bahwa dalam menganalisa peristiwa-peristiwa mutakhir, faktor agama tidak dapat diabaikan.
Indonesia bukan negara sekuler yang memposisikan agama hanya pada ruang privat agama, sebaliknya negara mendorong agama-agama untuk memberikan kontribusinya pada ruang publik. Indonesia juga bukan negara agama, yakni teokrasi yang didasarkan pada agama tertentu. Posisi agama yang begitu terhormat di negeri ini telah mempopulerkan Indonesia sebagai tempat persemaian yang subur bagi agama-agama.
Hubungan antara agama dan negara di negeri dalam bingkai Pancasila sebenarnya bisa menjadikan Indonesia sebagai pilihan bagi negara-negara komunis yang kini beralih menjadi negara demokrasi dan sedang gamang menentukan hubungan antara agama dan negara, demikian juga untuk negara-negara sekuler di barat yang memarginalkan agama, namun dikejutkan dengan fenomena kebangkitan agama-agama di seluruh penjuru dunia ini.
Ambivalensi ruang suci
Kekerasan agama saat ini terjadi hampir di seantero dunia ini, globalisasi telah mengakibatkan seluruh bagian dunia ini menjadi heterogen. Perjumpaan antar agama yang beragam dan berbeda itu oleh kemajuan teknologi seperti kata Samuel Huntington, acap kali menimbulkan benturan peradaban. Globalisasi ternyata berdampak negatif melahirkan pengerasan agama-agama.
Konflik agama itu sendiri sesungguhnya bukan problema kontemporer. Melainkan telah ada sejak berabad-abad yang lampau. Hanya saja, dengan teknologi informasi yang semakin canggih, benturan antar peradaban itu menjadi lebih mungkin terjadi. Namun, sama sekali tidak meneguhkan apa yang dikatakan John Rawls, “agama tidak dapat menerima fakta kemajemukan (fact of pluralism).” Karena pada kenyataannya ada banyak bukti bahwa agama telah memberikan kontribusi positifnya dalam perjuangan perdamaian, keadilan, toleransi dan demokrasi di seantero dunia ini, sebagaimana juga pernah dikatakan R. Scott Appleby dan Jose Cassanova.
Ambivalensi ruang suci sesungguhnya terkait dengan bagaimana cara pandang pemeluk agama tersebut. Eksklusivisme yang menganggap bahwa kebenaran tidak ada pada agama-agama lain, menjadi absolutis, dan kemudian memposisikan diri sebagai hakim terhadap agama-agama lain, “sama saja dengan memposisikan diri sebagai Tuhan,” demikian ungkap Stephen Tong dalam seminar “Truth, Pluralism and Public Life,” 26/2 di Jakarta. Merupakan upaya mengusir Tuhan dari takhta. Akibatnya, umat beragama tak lagi takut melakukan kekerasan terhadap sesamanya, bahkan melakukan kekejian yang paling mengerikan sekalipun.
Kita tentu Mafhum bahwa kebenaran yang absolut adalah milik Tuhan, maka interpretasi yang absolud juga hanya ada pada Tuhan. Karena itu tak seorang pun berhak memaksakan apa yang diyakininya kepada orang lain. Menghormati pilihan agama orang lain adalah mutlak. Meski itu tidak berarti mengakui semua pilihan itu benar, karena menyamakan agama-agama sesungguhnya adalah hal yang naif, dan tidak didasarkan pada penelitian yang mendalam.
Kekerasan agama yang terjadi di Indonesia mesti diakui terkait sikap tidak tegasnya pemerintah dalam mengatasi peristiwa-peristiwa kekerasan agama. Pemerintah tak selalu mampu bersikap netral. Demi penegakkan hukum individu, atau kelompok yang melakukan kekerasan, atas nama agama apapun, harus ditindak tegas tanpa terkecuali, dan harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Tindakan tegas pemerintah itu pasti akan membuat jera pelaku-pelaku kekerasan, yaitu mereka yang memaksakan pemahamannya terhadap orang lain.
Pemerintah mesti mewaspadai apa yang dikatakan Robert W. Hefner bahwa kekerasan agama terjadi karena negara memanfaatkan agama (politisasi agama), demikian juga sebaliknya agama memanfaatkan negara (agamaisasi politik), Hanna Arendt menyebutnya, bahaya terjadinya kolonisasi ruang privat oleh yang publik dan kolonisasi yang publik oleh yang privat. Dan semuanya itu berdampak negatif bagi agama-agama.
Keniscayaan Pluralisme
Pluralisme sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai rumah bagi berbagai pemikiran (a house of views). Dalam pluralisme, agama-agama tidak dipaksa untuk mengorbankan kebenaran, sebaliknya agama-agama bebas untuk memegang teguh kebenaran agama yang diyakininya tanpa harus menegasikan yang lain. Karena pluralisme agama itu sendiri berarti usaha untuk mencari titi temu antara agama yang beragam dan berbeda itu tanpa keinginan untuk menyeragamkannya.
Pilihan untuk memilih satu agama sebaiknya didasarkan pada pengetahuan tentang agama-agama lain. Karena itu agama-agama mesti diijinkan hadir dalam ruang publik. Dalam ruang publik yang sehat, pemilihan tentang agama apa yang harus dipilih seseorang itu dijamin dengan undang-undang. Karena kebebasan hati nurani merupakan kunci kehidupan yang harmonis dalam masyarakat. Kebebasan hati nurani menjadi dasar bagi pengakuan kebebasan beragama, demikian juga kebebasan berbicara. Dan itu hanya bisa terjaga dalam bingkai pluralisme agama.
Mengekang kebebasan hati nurani, dan beragama demi membangun sebuah kehidupan yang harmonis, dan rukun antar umat beragama adalah mustahil. Menurut Hans Kung, itu sama saja dengan “menghianati kebebasan demi kebenaran.” Apalagi jika kita setuju bahwa kerukunan adalah sebuah kerelaan yang keluar dari nurani manusia yang menghargai kebenaran tentang martabat manusia yang adalah sederajat itu, dan selayaknya hidup harmonis dalam perbedaan. Tepatlah apa yang dikatakan Kung “Tak ada perdamaian antar bangsa tanpa perdamaian antar agama.”
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society