“Agama Publik” Pancasila

Seputar Indonesia, 25 Juni 2010
Benyamin F. Intan

Soekarno adalah perumus, tapi bukan pencipta Pancasila. Nilai-nilai Pancasila telah lama tergurat dalam sanubari bangsa Indonesia berabad-abad lamanya. Nilai-nilai inilah yang digali, dirumuskan, dan dicetuskan Soekarno dalam pidatonya 1 Juni 1945.

Dari sejarah kelahirannya, Pancasila adalah kompromi politik yang bersifat neti-neti (bukan ini, bukan itu). Dalam logika politik seperti itu, tidak ada pihak yang diterima atau yang ditolak sepenuhnya. Sekalipun pidato kelahiran Pancasila Soekarno 1 Juni 1945 mampu mencairkan deadlock golongan Islam yang menginginkan Indonesia negara Islam dan golongan kebangsaan yang mendambakan negara sekuler, solusi Pancasila Soekarno dianggap terlalu sekuler.

Pasalnya, dalam Pancasila ala Soekarno, sila ketuhanan menempati urutan kelima dan ketika diperas, “gotong-royong” menjadi ekasila yang oleh Kuntowijoyo ditafsirkan sebagai sosialisme. Pada 22 Juni 1945, Panitia Sembilan menyempurnakan Pancasila ala Soekarno dengan menandatangani gentlemen’s agreement Piagam Jakarta. Dalam piagam tersebut, sila ketuhanan menempati urutan pertama dengan tambahan tujuh kata, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Piagam Jakarta berhasil mereligiuskan Pancasila ala Soekarno. Jika diperas, “ketuhanan”, bukan “gotong royong”, yang menjadi ekasila. Namun, “tujuh kata” membuat Pancasila Piagam Jakarta terlalu Islami. Akhirnya, pada 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945, tetapi dengan menghapus “tujuh kata” itu.

Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi dasar mengapa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Melalui sila pertama, aspirasi golongan Islam maupun golongan kebangsaan tidak diterima, tapi juga tidak ditolak sepenuhnya. Clifford Geertz menyebut logika inklusif pragmatis Pancasila ini sebagai “adaptive, absorbent, pragmatic, and gradualistic, a matter of partial compromises, half-way covenants, and outright evasions” (Islam Observed, hal 16).

Dalam kompromitas seperti itu, tidak ada pihak yang menang atau yang dikalahkan. Penyelesaian konflik bukan dengan mencari sintesis yang lebih tinggi, tapi dengan cara menghindari konflik. Dengan demikian, solusi politik Pancasila hanya sebatas mencegah disintegrasi sosial.

Agama Publik
Posisi utama sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengharuskan penafsiran sila-sila lain dikaitkan dengan sila pertama. Sila ketuhanan menjadi dasar bagi keempat sila lain. Itu berarti sila kemanusiaan, nasionalisme, demokrasi, dan keadilan sosial bukan semata-mata “sila-sila sekuler”, usaha murni manusia, tetapi memiliki dimensi transendental. Kehadiran sila ketuhanan bukan semata-mata menjamin toleransi dan kebebasan beragama.

Kalau hanya toleransi dan kebebasan beragama, sila kedua, ketiga, dan selanjutnya sudah cukup menjamin. Keunikan sila pertama: mendorong agama-agama menjalankan peran publiknya atau dalam istilah Soekarno, mempromosikan “kepentingan-kepentingan agama” (Lahirnya Pantja Sila, hal 33). Dengan demikian, Pancasila bukan sekadar menjamin toleransi dan kebebasan beragama, tapi juga mendorong peran agama-agama dalam ranah publik bangsa.

Sebagai “agama publik”, tugas agama-agama––dengan sila pertama sebagai sila pengarah––adalah memberikan tuntunan etis religius bagi keempat sila lain. Tentang sila nasionalisme, misalnya, agama-agama harus mengupayakan agar nasionalisme Indonesia tidak menjurus pada nasionalisme sempit ala chauvinisme Hitler yang menganggap bangsa Aria ras unggul. Peran publik agama seperti itu, menurut Soekarno, harus dibatasi secara beradab (Lahirnya Pantja Sila, hal 42–3).

Artinya, jangan arahkan peran publik agama pada state level (negara agama) atau political society level (partai politik agama) karena akan memolitisasi agama dan mengagamaisasi politik. Peran publik agama akan positif sejauh pada wacana civil society. Selama di wacana ini, agama akan mampu tampil menjadi kekuatan demokratis dalam hidup berbangsa.

Common Good
Peran publik agama harus dilakukan bersama-sama dalam dialog mewujudkan common good (kebaikan bersama) atau dalam Islam dikenal sebagai mashlahah ‘ammah. Untuk itu, tiap kelompok agama dituntut kesadaran interdependensi dengan menghadirkan golden rule (“sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”) yang berbagai versinya dimiliki banyak agama (John Hick, A Pluralist View, hal 39–40).

Pengaplikasian golden rule akan bermuara pada hubungan saling memperhatikan. Pada kondisi ini, agama-agama yang pasif harus didorong kontribusinya karena interdependensi agama mempersyaratkan, absennya kontribusi satu agama akan memengaruhi genuine civil consensus yang akan disepakati. Itu berarti tiap kelompok agama, menurut Richard Mouw dan Sander Griffioen, dituntut good will memaslahatkan bangsa dengan memiliki semangat kerja sama (spirit of cooperation), berpikir adil (fair-mindedness), dan bersikap toleran (toleration) (Pluralisms and Horizons, hlm 75).

Common good yang dihasilkan harus mencerminkan bonum honestum (kebaikan sejati). Untuk itu, common good harus dari dialog yang jujur dan terbuka, bukan sekadar pendapat mayoritas atau titik temu argumentasi populer. Artinya, common good harus hasil konsensus, “kesatuan” dari partial goods tiap agama. Sekalipun kesatuan dari partial goods, common good harus tetap berjiwa pluralis (John Courtney Murray, We Hold These Truths, hal 105).

Dengan kata lain, common good harus merefleksikan spirit Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Common good boleh berbeda, tapi tidak boleh bertentangan dengan kepercayaan kelompok agama. Selain itu, common good harus dapat menjamin hak-hak minoritas. Logika “bukan ini, bukan itu” Pancasila bersifat negatif. Kehadirannya hanya sebatas mencegah disintegrasi sosial. Common good sebaliknya bersifat positif. Keberadaannya yang disertai kesadaran interdependensi akan memperkokoh integrasi sosial.

Benyamin F. Intan, Penulis adalah Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.