Benyamin F. Intan
Suara Pembaruan, 13 Januari 2006
Waktu baca: 8 menit
Di penghujung tahun 2005 bom berdaya ledak tinggi mengguncang pasar tradisional daging babi di Palu, menewaskan 7 orang dan mencederai 54 orang lainnya. Walau motif dan pelaku peledakan masih terus diselidiki aparat keamanan (Suara Pembaruan, 6/1/2006), sasaran bom di pasar babi dan target korban mengindikasikan ada motif agama di balik insiden itu.
Entah siapa pelakunya, memanfaatkan simbol-simbol agama adalah cara yang paling mudah untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi. Agama memang sangat mudah diprovokasi mengingat salah satu daya pikat utamanya terletak pada ikatan emosional: Friedrich Schleiermacher menyebutnya “feeling”, H. N. Wiemann “devotion”, Rudolf Otto “experience”. Sentimen agama adalah alat yang paling ampuh untuk membuat orang emosional.
Ia bisa memotivasi orang rela mati dan rela membunuh, seperti yang terjadi di Ambon dan di Poso. Itu sebabnya mengapa agama rawan konflik, ibarat bom yang sewaktu-waktu bisa meledak.
Pelaku bom Palu yang membawa bendera agama, punya banyak kepentingan. Apa pun itu, salah satu target mereka yakni memicu ketegangan antaragama. Umat beragama harus tidak mudah terpancing.
Kita jangan sampai terjebak dalam skenario permainan itu. Salah satu cara yang paling ampuh melawan teror adalah berupaya semaksimal mungkin agar tujuan teror tidak tercapai. Itu sebabnya tidak bijak mengaitkan bom Palu dengan agama tertentu. Kita harus membedakan oknum pelaku, motivasi, dan kepentingannya, dengan agama yang dianutnya.
“Agama Publik”
Kekerasan bernuansa agama seperti bom Palu membuat orang was-was terhadap bahaya laten “kiprah agama di ruang publik” (“agama publik”). “Agama publik” (public religion) menekankan peran sosial agama dalam domain publik di tingkat nasional maupun global. Menghindarkan agama dari wacana publik sama artinya dengan pengerdilan agama (the trivialization of religion) yang menggeser agama ke wilayah privat, menjadikannya masalah personal semata melalui proses privatisasi dan marginalisasi.
Keberadaan “agama publik” dijamin konstitusi kita. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa bukan hanya tentang kebebasan dan toleransi beragama. Tetapi, lebih dari itu, ia memberikan kesempatan dan mendorong agama-agama menjalankan peran sosial di wilayah publik.
Di sisi lain, “agama publik” memang berisiko. Ia tidak dapat melepaskan diri dari sikap ambivalensi: di satu pihak mendorong terciptanya rekonsiliasi, di lain pihak memiliki potensi kekerasan (R. Scott Appleby, The Ambivalence of the Sacred: Religion, Violence, and Reconciliation). Tapi sosiolog agama seperti Robert Bellah, Peter Berger, Robert Wuthnow, José Casanova, dan R. Scott Appleby cukup optimistis terhadap “agama publik”. Bagi mereka, revitalisasi agama di wilayah publik cenderung berdampak positif dibandingkan dengan efek negatif yang ditimbulkannya.
Menarik, dalam bukunya Public Religions in the Modern World, Casanova menyebutkan revitalisasi agama tidak hanya terjadi di negara-negara non-Barat di mana agama dan tradisi masih sangat kuat, tapi juga di negara-negara Barat dengan tradisi demokrasi yang sudah sangat berakar. Dari studinya, Casanova menyimpulkan, revitalisasi agama tidak hanya sejalan tapi malah menjadi pendorong utama proses demokratisasi.
Persoalannya sekarang, bagaimana caranya agar agama mampu menampilkan sisi rekonsiliasi dan bukannya sisi kekerasan, sebagai pendorong demokratisasi dan bukannya sebagai penghambat? Profil agama amat bergantung pada peran politik macam apa yang akan dimainkannya.
Tugas dan tanggung jawab agama, menurut GBHN: “meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kokoh” bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Harold Lasswell membedakan politik kekuasaan (who gets what, when and how) dari politik moral (who should get what, when and how-and why).
Politik kekuasaan berbicara tentang power an sich, politik moral tentang justice. Kontribusi agama yang mencakup entitas moral, etik dan spiritual, masuk melalui politik moral.
Peran agama adalah peran politik moral. Agama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual artinya agama harus menjalankan fungsi kritis dan tugas profetis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagi Casanova, selama berjalan di atas rel politik moral, agama akan mampu menampilkan wajah rekonsiliasi dan menjadi pendorong demokratisasi.
Jadi “agama publik” per se tidaklah bersalah. Ia tidak bertanggung jawab dan tidak boleh dijadikan kambing hitam terhadap munculnya berbagai teror bernuansa agama.
Politik Moral
Mampu-tidaknya agama menjalankan politik moral amat bergantung pada hubungannya dengan politik kekuasaan. Telah disinggung, di dalam mengemban tugas moralnya, agama harus bersifat kritis dan profetis terhadap politik kekuasaan. Namun hal itu sulit dilakukan jika agama dan politik kekuasaan terisolasi satu sama lain. Keduanya tidak saling menyapa, yang satu tidak mau tahu urusan yang lain. Peran moral agama juga akan menemui banyak kesulitan apabila hubungan antara keduanya ditandai oleh rivalitas, yang satu ingin meniadakan yang lain. Tapi bentuk relasi yang paling destruktif dan opresif antara agama dan politik kekuasaan adalah apabila terjadi kolusi (persekongkolan) antara keduanya. Kolusi benar-benar akan mematikan fungsi moral agama.
Agama boleh dekat dengan politik kekuasaan tapi tidak boleh lengket (berkolusi). Apabila lengket, muncul godaan: politik kekuasaan memanfaatkan agama, atau agama memanfaatkan politik kekuasaan.
Sekali agama diperalat oleh politik kekuasaan, ia akan kehilangan daya transendentalnya. Tanpa identitas transenden, agama menjadi mandul, tidak lagi kritis dan profetis. Akibatnya menjadi komoditas politik belaka, sekadar alat pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara.
Itu sebabnya mengapa tokoh Reformator Martin Luther bersikeras melepaskan gereja dari politik kekuasaan. Bagi Luther, gereja harus memisahkan diri dari politik kekuasaan. Setiap lamaran politik kekuasaan agar gereja bersanding dengannya, harus ditolak.
Tidak Mungkin
Anggota gereja boleh terlibat politik kekuasaan, tapi jangan membawa atribut politik ke gereja. Apa pun alasannya, gereja tidak boleh jadi ajang kampanye politik. Tanpa imun dari intervensi politik kekuasaan, agama tidak mungkin dapat melakukan tugas moralnya.
Di sisi lain, politik kekuasaan tidak dapat berfungsi apabila diperalat oleh agama. Mustahil ia dapat mengayomi dan melindungi rakyat secara adil.
Pengikut agama lain akan dibedakan hak dan kewajibannya dari pengikut “agama yang memperalat politik kekuasaan”. Akibatnya muncul warga negara kelas dua. Politik kekuasaan yang seharusnya inklusif dan non-sektarian kini menjadi otoriter dan diskriminatif. Itu sebabnya mengapa Niccolo Machiavelli memisahkan politik kekuasaan dari gereja.
Bagi Machiavelli, politik kekuasaan harus melepaskan diri dari gereja. Setiap undangan gereja agar politik kekuasaan bersanding dengannya, harus ditolak. Agama yang memperalat politik kekuasaan adalah agama yang mengebiri dirinya sendiri.
Dengan menguasai politik kekuasaan, agama akan kehilangan daya transendentalnya. Sifat kritis dan profetis akan absen dari padanya. Akibatnya, ia tidak lagi mampu mengemban misinya dalam koridor politik moral.
Peran positif “agama publik” seharusnya menjadi pembelajaran bagi agama-agama di Indonesia. Bersama pemerintah, agama-agama turut memikirkan penanganan terhadap kekerasan yang bernuansa agama.
Hanya agama yang berkiprah di domain publik, berpolitik moral dan tidak lengket dengan politik kekuasaan, yang dapat memberikan kontribusi signifikan bagi solusi teror bernuansa agama seperti bom Palu.
Benyamin F. Intan, penulis adalah pemerhati masalah sosial-keagamaan, S3 dari Boston College dalam bidang Etika Sosial (Saat ini: Direktur Eksekutif Reformed Center for Religion and Society).