Agama dan Misi Perdamaian

Suara Pembaruan, 14 Agustus 2010
Binsar A. Hutabarat

Pada tanggal 7 Agustus 2010, Reformed Center for Religion and Society (RCRS) menggelar seminar “Agama dan Misi Perdamaian,”dengan keynote speaker Dr. Stephen Tong, narasumber Prof. Dr. Paul Marshall, Prof. Dr. Frans Magnis Suseno, dan Dr. Benyamin F. Intan. Dalam seminar tersebut seluruh pembicara sepakat bahwa agama sangatlah penting untuk perdamaian.

Seminar tersebut digelar dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, dan upaya untuk mencari solusi terkait banyaknya kekerasan yang membawa-bawa nama agama pada akhir-akhir ini. Tujuannya adalah bagaimana agama-agama itu bisa memberikan kontribusi positifnya pada ranah publik, khususnya dalam pembangunan bangsa sebagaimana pernah terjadi sebelumnya, di mana Indonesia pernah dijuluki sebagai negeri tempat persemaian yang subur bagi agama-agama.

Banyaknya kekerasan agama yang terjadi di Indonesia, khususnya pada era reformasi bukanlah warisan sejarah Indonesia, dan tentunya juga tidak terkait pada diri agama itu sendiri, sebaliknya itu disebabkan oleh sebab lain yang berasal dari luar diri agama itu, utamanya perebutan kekuasaan politik, yang kemudian mewujud baik berupa politisasi agama atau pun agamaisasi politik. Hadirnya perda-perda bernuansa agama sesungguhnya terkait dengan hal itu. Padahal, kedua-duanya justru merugikan agama-agama itu yang didalam dirinya melekati misi perdamaian.

Skeptisisme Barat—skeptisisme yang kini juga tumbuh subur dinegeri ini seiring dengan banyaknya kekerasan yang mengatas namakan agama—yang mengumandangkan bahwa agama tidak layak berada pada ruang publik, dan perlu dikerangkeng untuk hanya ada pada ruang privat agama adalah tidak memiliki dasar yang kuat, karena hanya sedikit bukti yang bisa mendukung pendapat tersebut.

Kebijaksanaan para founding fathers Indonesia yang menempatkan agama pada posisi terhormat, dan menempatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama dalam Pancasila, terkait kontribusi agama yang amat besar dalam perjuangan mengusir penjajah, patut dihargai, itu tentu saja didasarkan atas pertimbangan yang amat matang, serta pengenalan yang mendalam atas agama-agama yang ada di Indonesia.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana seharusnya agama-agama itu hadir untuk terus dapat memberikan kontribusi positifnya pada pembangunan bangsa Indonesia untuk menepis tudingan miring tentang paras bengis agama yang sering dipertontonkan akhir-akhir ini di negeri ini. Demikian juga anggapan bahwa semakin religius seseorang cenderung membangun kelompok-kelompok intrakomunal yang eksklusif, yang bisa menimbulkan stereotipe negatif terhadap agama-agama lain, yang puncaknya bisa mewujud pada tindakan kekerasan.

Misi Perdamaian
Paul Marshall menegaskan, tidak ada hal yang spesifik dari perbedaan antar agama itu sendiri yang bisa membuat perbedaan agama itu memiliki kecenderungan untuk menjadi konflik, apalagi memicu kekerasan agama. Prasangka buruk terhadap agama-agama yang berbeda bisa saja muncul karena ketidaktahuan seseorang tentang agama-agama lain. Namun, agama-agama yang menekankan pada perdamaian dan rekonsiliasi tidak mungkin menanamkan benih kecurigaan tersebut.

Senada dengan itu Stephen Tong menjelaskan, agama mestinya memiliki motivasi kuat untuk menghadirkan perdamaian, bukannya malah menggelorakan konflik atau peperangan agama. Konflik agama bukan sebuah kewajaran melainkan sebuah anomali yang tak perlu di lestarikan dengan alasan apapun.

Agama-agama tidak akan menampilkan wajah bengisnya apabila misi perdamaian agama dikumandangkan dengan cara yang benar. Agama-agama tidak boleh memaksakan perdamaian dengan cara kekerasan. Apalagi, kekerasan selalu saja menimbulkan kekerasan, dan perdamaian tidak mungkin tercipta dengan cara kekerasan, sebaliknya harus melalui penegakkan hukum.

Perjuangan untuk mengusahakan perdamaian secara damai dapat terwujud dengan memupuk sikap toleransi antar agama dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Apabila hal ini dilakukan maka konsep mutlak yang ada dalam agama-agama, yang amat penting dalam beribadah tidak akan menjadi persoalan. Karena konsep mutlak agama tidak boleh menjadi pembenaran untuk memaksakan konsep mutlak agama pada orang lain, apalagi dengan menggunakan kekerasan, itu sama saja dengan menghina martabat manusia yang mulia yang diagungkan oleh agama-agama.

Warta perdamaian agama-agama mestinya nir kekerasan, meski di dalam penyampaian warta tersebut direspon secara negatif sekalipun. Karena warta perdamaian agama-agama didasarkan pada kebaikan hati pemeluk agama, tanpa pamrih apapun. Apa yang dikatakan Hans Kung ini patut untuk direnungkan oleh agama-agama,” Tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian diantara agama-agama.”

Kerjasama antar agama
Apabila kita meyakini bahwa semua agama memiliki misi perdamaian di dalam dirinya, maka seharusnya tidak ada pemberitaan agama yang bertentangan dengan misi perdamaian agama-agama itu. Ambivalensi agama, yang menampilkan wajah garang sekaligus wajah perdamaian antara lain disebabkan kesalahan dalam menafsir teks-teks agama. Pada konteks ini jelas pemahaman yang mendalam tentang agama sangat penting bagi pemeluk-pemeluknya dalam mempromosikan misi perdamaian agama.

Untuk menghapus benih kecurigaan terhadap agama yang berbeda diperlukan dialog antar agama, dialog yang jujur antaragama ini bisa terjadi jika ada penerimaan terhadap pluralisme agama. Pluralisme agama disini tidak boleh diartikan bahwa semua agama sama saja, ini berarti menyangkali identitas agama-agama yang berbeda itu. Menerima pluralisme agama berarti menghargai mereka yang berbeda agama sebagai rekan dalam kehidupan bersama. Penerimaan atas pluralisme agama inilah yang memungkinkan agama-agama bisa memberikan kontribusinya bagi perdamaian.

Selain dialog antar agama, yang lebih penting dari itu dalam menjalankan misi perdamaian agama adalah kerja sama antar agama. Adanya organisasi-organisasi interkomunal yang terbentuk dalam kerjasama antar agama sangat penting untuk meredam kekerasan yang membawa-bawa nama agama. Rumor negatif yang bisa memicu konflik dan kekerasan tidak akan berdampak luas jika organisasi-organisasi interkomunal itu bekerja dengan baik. Masyarakat yang hidup saling percaya dan saling menerima akan sangat sulit terprovokasi, baik oleh isu yang terkait dengan agama sekalipun.

Konflik agama sesungguhnya hanya bisa diselesaikan oleh agama-agama itu, bukannya menggunakan tangan pemerintah, apabila kerjasama antar agama bertumbuh subur dinegeri ini, maka agama-agama itu akan mampu menyelesaikan konflik yang terkait dengan dirinya.

Kerjasama antar agama sesungguhnya juga bisa menjadi tempat dimana agama-agama itu dapat mempromosikan kebaikannya. Benyamin F. Intan mengutif Frankena menjelaskan, agama-agama bukan hanya tidak boleh menimbulkan kejahatan, sebaliknya agama mesti berfungsi mencegah kejahatan, dan bersungguh-sungguh menghapus kejahatan, serta mempromosikan kebaikan, sebuah kualitas tertinggi dari nilai-nilai kemanusiaan untuk mewujudkan keadilan dalam kehidupan bersama. Itulah yang terkandung dalam misi perdamaian agama-agama.

Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.