Investor Daily, 28 Juli 2007
Binsar A. Hutabarat
Tak terbantahkan, ambivalensi dalam penampakan agama pada ranah publik yang oleh Jose Casanova diartikan sebagai “bermuka dua” (janus face), di mana agama dapat menampilkan wajah garang dan wajah perdamaian bukanlah terkait semata-mata pada diri agama-agama itu. Banyak peperangan yang dimotivasi agama pada hakikatnya bukan “perang agama” sebab itu bisa saja ditunggangi kepentingan yang sebenarnya anti-agama. Atau secara khusus ditunggangi kepentingan politik, sebagaimana dinyatakan dalam komunike para pemuka agama baru-baru ini di Bali, yang berbunyi, “Amat sering, kebencian dan kekerasan justru mengenyahkan kedamaian saat agama dimanipulasi untuk tujuan-tujuan politik”.Jika kita setuju hadirnya agama-agama di dunia selalu membawa misi untuk menciptakan kedamaian, agama yang menjadi sumber kedamaian itu tidak mungkin secara bersamaan menjadi sumber konflik yang mengerikan. Oleh karena itu, optimisme untuk menciptakan kedamaian melalui dialog antaragama yang akan menumbuhkan toleransi antaragama mestinya tetap tertanam di hati semua umat yang menyatakan diri beragama.
Meski kita juga tahu, mengusahakan toleransi antaragama dinegeri ini bukan soal mudah, tapi kita mesti yakin, komunikasi yang dibangun dalam dialog untuk kedamaian lambat laun akan membuahkan hasil.Hal yang sering terlupakan dalam usaha membangun kedamaian antaragama adalah adanya usaha menghadirkan toleransi dengan membelenggu kebebasan umat beragama. Akibatnya, umat beragama tidak lagi bebas mengutarakan kebenaran yang diyakininya, itu biasanya hadir sebagai usaha untuk menyelesaikan konflik antaragama, seperti yang terbaca dalam SKB 2 Menteri yang kini menjelma menjadi Perber (peraturan bersama). Pada tindakan itu, agama tidak lagi diakui sebagai sumber kedamaian, dan harus dibatasi geraknya. Kebenaran agama yang mestinya selalu diikuti oleh kedamaian, seharusnya juga diikuti oleh kehidupan yang damai antaragama. Tepatlah apa yang dikatakan Hans Kung, “tidak mungkin ada kedamaian tanpa kedamaian di antara agama-agama”. Agama sebagai pembawa damai sudah semestinya dapat hidup berdamai dengan agama-agama yang berbeda dan sama-sama menjadi pembawa damai. Oleh karena itu, sebagai seorang yang beragama, tidaklah patut berbicara tentang kedamaian tanpa berusaha untuk hidup damai dengan agama-agama lain.
Usaha untuk membangun jembatan komunikasi antaragama harusnya tak mengenal kata putus asa, walau beribu tantangan berat melintang di depannya.Pembelengguan demi ToleransiUntuk itu, dialog tidak boleh hanya dilihat sebagai kebutuhan untuk membangun kehidupan yang lebih damai, tetapi itu juga adalah suatu kesadaran yang mestinya terus bertumbuh seiring bertumbuhnya pengetahuan agama seseorang. Maka pertambahan pengetahuan kebenaran melalui dialog antaragama niscaya akan menghadirkan kehidupan yang lebih damai, jika benar kita mengakui semua agama memiliki misi menciptakan kedamaian.Kebebasan menghadirkan kebenaran agama sebagai suatu kontribusi untuk mendorong kehidupan sosial kemasyarakatan yang harmonis harus mendapat dukungan semua kelompok agama. Sebaliknya pembelengguan agama-agama demi menumbuhkan toleransi untuk menciptakan kedamaian adalah suatu anomali. Bahkan bisa jadi, itu hanya menimbulkan “balas dendam” agama, meminjam istilah Gilles Kepel, yang terbaca jelas pada legitimasi kekerasan pada aksi terorisme.
Selama usaha menghadirkan kebenaran agama ini tidak menafikan kebenaran pada agama lain, perlu ada proteksi terhadap kebebasan itu. Pada usaha itu, apa yang dikatakan oleh Hans Kung tentang kebenaran agama menjadi penting, dan mestinya menjiwai semangat dalam menghadirkan kebenaran untuk menciptakan kedamaian, “bagaimana pun tak ada agama yang memiliki seluruh kebenaran; Allah sendirilah yang memiliki seluruh kebenaran…. Hanya Allah–atau dinamakan apa pun-adalah kebenaran itu! ”Pengakuan pentingnya menghadirkan kebenaran agama-agama secara bersamaan menuntut kebutuhan adanya pendidikan agama yang berkualitas. Tidak cukup menentukan nilai pelajaran agama sebagai syarat kenaikan kelas atau kelulusan bagi siswa tanpa menghadirkan pendidikan agama yang bermutu. Nilai agama sebagai syarat kelulusan hanya akan menyuburkan kemunafikan. Bukan lagi suatu rahasia, nilai agama sering kali tak memiliki relasi dengan pengetahuan agama siswa, belum lagi jika berbicara tentang pengamalan agama. Peningkatan kualitas pendidikan agama itu penting untuk meredam semangat fanatisme agama yang berlebihan. Karena tanpa pengetahuan agama yang memadai, orang cenderung curiga terhadap agama-agama lain, takut untuk berkomunikasi, sehingga bersikap eksklusif, dan mudah menyulut konflik. Sebaliknya, pengetahuan agama yang baik akan menumbuhkan kesadaran pentingnya mendengarkan pandangan agama-agama yang berbeda, yang kemudian bermuara pada hadirnya dialog yang jujur, yang kemudian makin menumbuhkan rasa toleransi antaragama.
Tulus dan Pengosongan Diri
Jadi, toleransi sebagai pemberian penghormatan terhadap agama-agama yang berbeda, hanya mungkin hadir ketika pengetahuan umat beragama tentang agamanya makin berkualitas, karena kualitas pengetahuan agama-agama itu juga terkait kesediaan untuk mendengarkan agama-agama yang berbeda. Kita harus menyadari toleransi membutuhkan kebenaran, bukannya menafikan kebenaran.Hanya perjuangan umat beragama yang tuluslah yang akan menghadirkan kedamaian. Perjuangan yang tulus itu menuntut usaha pengosongan diri. Di sini semangat ingin menang sendiri (triumphalism), tidak lagi menguasai. Tidak penting, siapa atau agama apa, yang perlu mendapatkan penghargaan atas penciptaan kedamaian di bumi Indonesia ini. Yang terpenting, bagaimana setiap umat beragama secara maksimal memberikan kontribusinya untuk menciptakan kedamaian.Hanya dengan pengosongan diri itu jugalah kita bisa menyetujui apa yang dikatakan Rabi Daniel Landes dalam konferensi religi di Bali, “Apa yang terjadi jika tidak ada seorang pun yang menyandang kepentingan pribadi? Jawabnya adalah damai.” Hanya perjuangan yang tuluslah yang akan menghadirkan kedamaian, itulah yang kita butuhkan. Suatu pemberian toleransi tanpa batas, yang lahir dari pemahaman kebenaran yang dibalut oleh kasih yang tak bertepi dan tak pernah menuntut jasa, kecuali hanya menghadirkan kebaikan bagi sesama.Semoga damai kembali betah berdiam di negeri ini setelah beberapa pelaku teror yang mengatasnamakan agama itu tertangkap. Hukum memang harus ditegakkan, tapi kita tetap tidak boleh menyalakan dendam. Dan itu hanya mungkin ketika kita mampu mengosongkan diri, melepaskan atribut-atribut yang menjadi penghalang, dan suatu saat kita dapat hidup berdamai dengan pelaku teror yang telah keluar dari penjara, dan itu mungkin terjadi ketika penjara mampu memberikan pendidikan agama yang berkualitas yang akan menumbuhkan toleransi untuk mencairkan ideologi teroris, dalam sentuhan kasih yang tulus melalui pengosongan diri.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society