“Affirmative Action” vs Suara Terbanyak

Suara Pembaruan, 25 Maret 2009
Joseph H. Gunawan

Pesta demokrasi 9 April 2009 tinggal menunggu hitungan hari. Kampanye terbuka telah digelar sejak 16 Maret dan berakhir 5 April 2009. Kecemasan aktivis gerakan perempuan dan caleg perempuan makin menjadi. Perppu tentang affirmative action, yang diharapkan menjadi senjata pamungkas terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 22-24/PUU-VI/2008, yang mengabulkan gugatan uji materi atau judicial review dan mencabut Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD 2009, pupus sudah.

Penentuan calon anggota legislatif (caleg) terpilih diubah, tidak lagi memakai sistem nomor urut, melainkan suara terbanyak. Mahkamah Konstitusi merasa putusan tersebut sejalan dengan semangat demokrasi yang ditetapkan UUD 1945 dan mengacu pada UU No.7 Tahun 1984 mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Perempuan yang harus diprioritaskan. Di lain pihak, putusan MK ini meresahkan aktivis gerakan perempuan dan caleg perempuan, karena sama saja membatalkan legalitas affirmative action yang dengan gigih mereka perjuangkan.

Di kalangan aktivis gerakan perempuan, putusan MK dianggap berbau diskriminatif negatif, karena mencabut affirmative action yang di Eropa dikenal sebagai diskriminatif positif dan bertujuan mengurangi efek diskriminasi. Putusan MK ini menyumbat aspirasi, sebab potensial melemahkan keterwakilan politik perempuan di parlemen dan berakibat menjadi penggembosan dan penghambatan akses terhadap perjuangan gerakan perempuan untuk melakukan mobilitas sosial politik.

Mereka menyuarakan perihal mengakomodasi keterwakilan perempuan pada Hari Perempuan Sedunia, 8 Maret lalu. Sistem kuota perempuan 30 persen dan pencalonan zipper pada setiap daerah pemilihan (dapil) menjadi mandul akibat putusan MK. Apalagi, affirmative action telah diberlakukan di belahan dunia, seperti alokasi kursi parlemen negara-negara di wilayah Skandinavia. Itulah sebabnya, putusan MK dianggap bertentangan dengan makna substantif dan prinsip keadilan, sebagaimana diatur UUD 1945.

Upaya mempercepat proporsi keterwakilan politik perempuan di parlemen semakin sulit dilaksanakan. Ditambah, ketidakjelasan berlarut-larutnya kebijakan yang mengatur setiap tiga caleg terpilih di suatu dapil satu peluang khusus harus diberikan kepada caleg perempuan. Sistem suara terbanyak membuka peluang dan ruang kompetitif kepada para caleg untuk bersaing memperebutkan mandat rakyat.

Banyak caleg perempuan berkualitas optimistis bisa menduduki kursi parlemen dengan berkompetisi secara bebas terbuka dan all out, habis-habisan, dengan caleg lain dan parpol lain dalam memperebutkan posisi pada arena publik. Jadi, penetapan caleg dengan sistem suara terbanyak pun belum tentu merugikan caleg perempuan yang sudah jauh-jauh hari mengantisipasinya. Perempuan juga tidak diuntungkan dan posisi mereka pun belum tentu diuntungkan sebelum adanya putusan MK.

Emansipasi
Laporan KPU menyebutkan, keterwakilan perempuan di DPR pada 2008 sekitar 11,60 persen dan di DPD sekitar 19,80 persen. Data KPU yang dirilis menunjukkan, total caleg tetap untuk Pemilu 2009 mencapai 11.301 dengan perincian, 7.391 laki-laki dan 3.910 perempuan atau 34,60 persen, padahal jumlah konstituen perempuan melebihi laki-laki dengan estimasi sekitar 57 persen.

Kalangan aktivis gerakan perempuan menuntut emansipasi dalam keterwakilan politik perempuan. Emansipasi merupakan upaya yang diimplementasikan untuk memperoleh hak sipil, hak politik, dan persamaan derajat, bagi kelompok masyarakat yang semula mengalami eksklusif, diskriminasi, marginalisasi, dan kurang terwakili, dalam hal ini kaum perempuan, yang tidak diberi hak secara spesifik.

Meminjam pemikiran Karl Heinrich Marx (1818-1883), ahli filsafat Prusia yang membahas emansipasi politik dalam Zur Judenfrage, yang membutuhkan kesamaan derajat warga negara/individu dalam kaitannya dengan negara dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law), dalam hal ini tepat.

Oleh karena itu, putusan MK tidak perlu dirisaukan aktivis gerakan perempuan dan caleg perempuan, sebab itu sejalan dengan hakikat demokrasi. Ketentuan suara terbanyak harus dihormati sebagai pilihan rakyat, karena rakyat berpartisipasi dan terlibat dalam memberikan dukungan kepada caleg yang akan menjadi wakil rakyat.

Implementasi sistem suara terbanyak semestinya hanya mempertontonkan partai dan caleg perempuan yang harus memiliki program kerja dengan konsep yang baik, jelas dan terfokus. Nantinya, hanya caleg perempuan yang peka, tajam, sensitif gender, tepercaya, terdidik akademis, berkapasitas, berintegritas, berkompetensi dan berkualitas tinggi saja yang layak dan patut terpilih. Hendaknya, anggota legislatif perempuan merupakan cerminan dari pilihan dan hati nurani rakyat. Ke depan, diharapkan anggota legislatif terjun ke tengah-tengah rakyat, memiliki respons, dan menyerap aspirasi rakyat dengan lebih berperan aktif, responsif, dan aspiratif terhadap keinginan rakyat.

Joseph H. Gunawan, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society

Leave a Comment

Your email address will not be published.