Investor Daily, 3 Februari 2010
Tandean Rustandy
Sejumlah kalangan pengusaha masih diliputi kekhawatiran dengan Pemberlakuan Asean-China Free Trade Area (AC-FTA) mulai 1 Januari 2010. Mereka khawatir AC-FTA akan mengancam industri Indonesia, yakni kemungkinan penutupan pabrik-pabrik, yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran.
Tak ada alasan para pengusaha dan sejumlah kantor kementrian khawatir atas kehadiran AC-FTA. Perjanjian yang ditandatangani lima tahun lalu itu sudah melewati proses kajian yang mendalam. Tujuan AC-FTA sendiri sangat strategis dan mulia, yakni menjadikan Negara-negara Asean basis produksi pasar dunia dengan menarik investasi dan meningkatkan perdagangan.
Jadi, lebih baik mulailah dengan sesuatu yang baik, daripada terus mengeluh. Hal yang perlu dilakukan sekarang ini adalah bagaimana agar sektor manufaktur tidak tertekan lebih parah. Ini berarti butuh pengorbanan dan kemauan yang luar biasa, baik dari pemerintah maupun pengusaha untuk memperbaharui dua “jalan macet”: birokrasi pemerintahan dan ketersediaan infrastruktur.
Terkait birokrasi pemerintahan, kita harus terus mendorong birokrasi pemerintahan, baik pusat maupun daerah, untuk terus mereformasi diri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak biaya dan waktu dihabiskan untuk mengurusi hal-hal sederhana di kantor pemerintahan kita. Masyarakat sering mengeluhkan jasa pelayanan pemerintah yang ternyata belum banyak berubah pasca-12 tahun reformasi.
Di sisi lain, untuk mendorong sektor swasta berputar lebih cepat, hal ini butuh partisipasi aktif pemerintah. Sayangnya, masih ada budaya di kalangan pejabat “kalau bisa diperlambat, mengapa mesti dipercepat”. Banyak pejabat mengetahui ini kurang etis dan harus direformasi. Namun, birokrasi pemerintah hingga kini sangat lamban dan belum ada perubahan signifikan.
Alangkah baiknya jika mental pejabat berubah dalam melayani masyarakat. Mentalitas yang hanya mau dilayani dikikis habis dan digantikan dengan kultur mau melayani.
Pengusaha Nasionalis
Terkait ketersediaan sektor infrastruktur, ini memang dilema klasik kita. Kita tidak berharap seperti Negara-negara Barat, tapi paling tidak mendekati Malaysia atau Thailand dalam hal ketersediaan infrastruktur jalan atau listrik. Soal listrik, PLN kita sering kedap-kedip. Padahal listrik adalah “darah” sektor manufaktur. Terbakarnya gardu induk Cawang, Jakarta, beberapa waktu lalu, sangat merugikan dunia usaha.
Kondisi infrastruktur lain, seperti jalan yang kebanyakan sudah rusak dan tak terawatt juga menjadi faktor yang mengancam kelangsungan hidup industri. Kita harapkan pemerintah memperhatikan kondisi infrastruktur dengan serius gar investasi lancer. Sekarang ini keadaan insudtri kita morat-marit karena tidak efisien, tingkat risiko dan biaya pun menjadi sangat tinggi.
Pengusaha juga harus berubah. Sangat diperlukan pengusaha yang berhati nasionalis, tidak banyak mengeluh, more action, talk less. Lagi pula, pengusaha jangan hanya memikirkan keuntungan pribadi. Keuntunga yang diperoleh harus dikembalikan ke institusi melalui investasi. Mindset keuntungan tidak salah, tapi harus juga memikirkan kelangsungan hidup institusi.
Pabrik, misalnya, sungguh sangat baik jika keuntungan diinvestasikan dengan membeli mesin berteknologi tinggi, hemat energi, dan ramah lingkungan. Bukan meningkatkan derajat pribadi, tetapi derajat institusi, supaya lebih baik di mata masyarakat dan pemerintah. Ibarat punya anak, pasti kita perlu berpikir jauh ke depan supaya generasi selanjutnya bisa hidup terus dan lebih baik dari generasi sebelumnya.
Hati nasionalis juga bisa ditunjukkan dengan keberanian menggunakan produk Indonesia sendiri. Orang Indonesia ke luar negeri, misalnya, kebanyakan naik pesawat Singapore Airline (SQ). mereka rela membayar lebih mahal untuk pelayanan prima. Akibatnya, Garuda kalah bersaing dengan maskapai penerbangan asing, sehingga perusahaan milik Negara ini rugi besar.
Syukur bahwa sekarang Garuda mulai berbeda dan baru-baru ini perusahaan ini mendapat penghargaan international dalam dunia penerbangan. Ini sebuah perubahan yang sangat penting dalam persaingan global.
Berjuang dan Berkorban
Rebutlah peluang dengan adanya AC-FTA. Sebagai raksasa di antara sesama Negara Asean, Indonesia jelas berada pada posisi terdepan. Terpilihnya Indonesia sebagai anggota G-20 adalah bukti untuk itu. Karena itu, saatnya kita mengambil kesempatan berkompetisi dalam dan melalui AC-FTA. AC-FTA menjadi pendorong para pengusaha untuk lebih kreatif, inovatif, dan efisien.
Semuanya tentu butuh perjuangan dan pengorbanan. Selama ini kita selalu cenderung kurang berjuang dan berkorban dibandingkan para pejuang di masa lalu. Kita harus introspeksi dan berbenah diri. Ketika Tuhan memilih kita lahir di bumi Indonesia, tak ada tempat lain kecuali Indonesia inilah medan “pertempuran” kita. Abraham Lincoln berkata, “I like to see a man proud of the place in which he lives. I like to see a man live so that his place will be proud of him (Saya ingin melihat seseorang bangga atas tempat di mana dia hidup).”
Maka, berbanggalah menjadi orang Indonesia! Untuk itu, kita tidak bisa berdiam diri dan menyerah pada keadaan. Kita harus berjuang keluar dari diri kita, lepaskan sikap egoistis dan arogan, dan berkorbanlah bagi bangsa, demi masa depan yang lebih baik. mentalitas inilah yang harus dibangun, bukan saja untuk menghadapi AC-FTA, tetapi juga untuk Indonesia yang lebih baik.
Tandean Rustandy, Penulis adalah Peneliti Senior Reformed Center for Religion and Society, Alumni University of Chicago Booth Business School