Sinar Harapan, 5 Agustus 2006
Binsar A. Hutabarat
Keputusan founding fathers Indonesia untuk memisahkan agama dan negara memiliki konsekuensi logis tidak diizinkannya hegemoni agama-agama di Indonesia. Semua identitas agama yang beraneka itu diakui keberadaannya. Dominasi agama atas negara dapat diartikan hegemoni agama atas agama lain. Hegemoni agama seperti ini tidak memiliki tempat secara hukum dalam negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hegemonisme Agama
Hegemonisme agama adalah tuntutan agama untuk mempunyai kekuasaan atas negara yang merupakan juga hegemoni agama terhadap agama yang berbeda. Hegemonisme agama mengakibatkan bersatunya dua absolutisme, yaitu negara dan agama. Ini melahirkan totalitarianisme yang amat mengerikan pada abad pertengahan, yang akhirnya menimbulkan perlawanan terhadap agama yang melahirkan konsep negara sekuler dan anti-agama. Revolusi Prancis yang anti-agama merupakan lembar kekelaman hegemoni agama.
Hegemonisme agama tetap merupakan bahaya yang perlu diwaspadai. Menurut Jurgensmeyer, mergernya dua absolutisme pada saat ini (agama dan negara) dapat mengakibatkan matinya demokrasi. Kecenderungan bercampurnya nasionalisme dan agama dalam politik identitas masih sangat mungkin terjadi. Jadi hegemonisme agama bukan hanya ancaman pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini. Apalagi setelah era kebangkitan agama-agama.
Hegemonisme di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang terkenal dengan toleransinya dapat menjadi contoh dari pelajaran kegelapan hegemonisme agama. Indonesia sebagai negeri yang subur tidak hanya menjadi tempat yang subur bagi tumbuh-tumbuhan. Ada slogan bahwa apa pun yang ditanam di Indonesia pasti tumbuh, termasuk agama.
Masuknya agama-agama di Indonesia terjadi dengan cara damai, agama-agama besar yang kini diakui sebagai agama resmi negara merupakan agama pendatang. Agama-agama tersebut kehadirannya diakui di Indonesia sehingga bertumbuh dengan subur.
Tidaklah mengherankan jika Arnold Toynbee pernah mengatakan tentang Indonesia demikian, ”Sungguh pun negeri ini berhadapan dengan berbagai persoalan dan kesulitan dalam masyarakatnya yang serba-aneka, namun selalu bebas dari salah satu kebatilan umat manusia, yakni sengketa agama. Tidak pernah terjadi di Indonesia perselisihan agama, apalagi perang agama seperti di negeri-negeri lain, baik di Timur maupun Barat. kalaupun Indonesia mempergunakan agama dalam peperangan, hal itu adalah perang sabil melawan penjajah, bukan melawan agama lain”.
Di Indonesia, kemiskinan bukan merupakan penyebab timbulnya hegemonisme agama, karena pada awalnya tercipta toleransi antarumat beragama dalam masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Jika pada waktu kemudian terjadi hegemonisme agama yang melahirkan benturan agama. Hal itu disebabkan oleh faktor lain, bukan sesuatu yang lahir dari budaya Indonesia yang sangat toleran.
Hegemonisme agama memang tidak mempunyai akar di Indonesia serta tempat dalam hukum di NKRI. Namun hegemoni agama-agama terus berusaha dimunculkan. Usaha agama-agama untuk menuntut dominasi atas negara (menjadi agama khusus dalam negara), bukan menjadi agama negara, terus berlangsung sejak berdirinya NKRI hingga saat ini.
Usaha itu bukan hanya dilakukan secara konstitusional melalui penetrasi nila-nilai agama ke dalam Pancasila. Akibatnya, Pancasila tidak berfungsi sebagai alat pemersatu bangsa. Penafsiran Pancasila tidak didasarkan atas semangat bhineka tunggal ika, tetapi oleh hegemonisme agama (buah dari fanatisme agama yang menolak representasi agama lain). Usaha tersebut juga dilakukan dengan kekerasan yang bukan hanya mengganggu kerukunan masyarakat Indonesia, tetapi juga menelan korban manusia.
Penyebab Hegemoni Agama
Hegemoni agama yang tidak memiliki akar dan kekuatan hukum di Indonesia dapat terus hidup, setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena ketidakadilan, kedua karena adanya penafsiran agama yang sempit.
Sepanjang sejarah NKRI menurut penyelidikan penulis hegemoni agama terus terjadi karena pemerintah seringkali tidak konsisten untuk menghargai semua identitas agama yang diakui Pancasila. Politik akomodasi pemerintah (Orde Baru) yang berkuasa demi melanggengkan kekuasaannya membuat agama senantiasa menuntut dominasi dengan mendekatkan diri pada pemerintah. Jika tidak, eksistensinya terancam.
Pada masa rezim Orde Baru, pemerintah memasuki daerah berbahaya wilayah agama dan memberikan fasilitas khusus bagi agama-agama yang mendukung pemerintah dalam melestarikan kekuasaannya. Lahirnya undang-undang yang diskriminatif terkait dalam hal itu.
Agama-agama yang memang memerlukan akses dalam pemerintahan tergoda untuk mendapatkan fasilitas khusus (tepatnya individu, oknum tertentu yang memakai agama untuk kepentingan pribadi). Jika agama-agama tidak mau tunduk pada pemerintah, menjadi ancaman bagi pemerintah, eksistensinya akan terancam.
Akibatnya, agama kehilangan daya kritisnya, dibungkam dengan kekuatan senjata. Diskriminasi agama terjadi secara terbuka, dan agama-agama dipasung oleh kekuasaan. Tidaklah mengherankan menjelang dan setelah runtuhnya Orde Baru, benturan antar-agama terjadi secara mencengangkan, dan belum pernah terjadi sebelumnya.
Hegemoni agama-agama terus terjadi karena tidak adanya keadilan. Peristiwa Aceh yang menuntut ditetapkannya Syariat Islam (SI) juga karena ketidakadilan pemerintah pada masa lalu. SI bukan agenda utama Aceh.
Di samping ketidakadilan, hal lain yang mendorong lahirnya hegemoni agama-agama adalah adanya penafsiran yang sempit yang melahirkan fanatisme agama dan menolak reperesentasi agama lain. Biasanya, ini lahir dari sistem pendidikan agama yang tidak bersifat edukasi, melainkan bersifat indoktrinasi.
Sistem indoktrinasi agama menjadi berbahaya ketika komunitas agama tersebut memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Fenomena ikonoklasme yang tampak dalam penghancuran rumah-rumah ibadah yang belum juga berhenti hingga saat ini terkait dengan hal tersebut. Perusak rumah ibadah biasanya tidak tahu-menahu tentang aturan pemerintah.
Agama-agama tertentu memosisikan agama-agama lain sebagai sesuatu yang salah tanpa berusaha memahami keberadaan yang berbeda. Mengakui agama yang dipercaya sebagai sesuatu yang benar bukanlah salah, tetapi menutup diri terhadap agama lain, apalagi menolak representasi mereka dalam NKRI adalah suatu pengkhianatan terhadap demokrasi.
Absurditas
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa absurditas hegemoni agama-agama di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Bukan hanya karena hegemoni agama-agama tidak memiliki tempat secara hukum, melainkan sejarah membuktikan bahwa agama-agama di Indonesia dapat tumbuh dengan subur ketika tidak terjadi hegemoni agama.
Nilai-nilai agama yang eksklusif (berasal dari agama tertentu) secara bersamaan juga inklusif, karena diakui berguna bagi agama-agama lain. Jadi, hegemoni agama tidak perlu diperjuangkan. Apalagi dia adalah sebuah absurditas.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society