Ulasan Buku #4
Pengulas: Semy Arayunedya & Daniel Tong
Di setiap negara, kelompok minoritas merupakan sebuah keberadaan yang niscaya. Wujudnya beragam rupa, yang tergambar dari aneka suku, strata sosial, ekonomi, agama, dan bentuk lainnya. Hadirnya entitas ini di dalam realita kekuasaan, mau tidak mau, memunculkan warna tersendiri. Warna itu bisa pudar, atau justru berpendar. Semua tergantung pada bagaimana kelompok-kelompok ini sekadar bertahan atau bahkan menggugat homogenitas yang ada.
Gerry van Klinken merupakan salah satu penulis yang menaruh lensanya pada keunikan ini. Ujung penanya berusaha menggurat sumbangsih kelompok minoritas pada arus utama menuju kemerdekaan Indonesia pada rentang 1900-1942. Unsur-unsur minoritas yang dirujuk terdiri atas: komunitas tradisional di mana mereka lahir; pengalaman konversi dan atau pengalaman yang memosisikan mereka terlepas dari para pendahulunya; kelas menengah; dan Kristen yang menambah status luar biasa karena sama dengan yang dianut oleh penguasa kolonial. Dari pelbagai tokoh-tokoh Kristen terkemuka, penulis mengerucutkan menjadi lima diantaranya yang mungkin terdengar sayup pun tidak di dinding telinga para pembaca. Mereka, antara lain, Ignatius Joseph Kasimo, Todoeng Soetan Goenoeng Moelia, G.S.S.J. Ratu Langie, Amir Sjarifoeddin, dan Albertus Soegijapranata.
Sebelum memasuki bagian inti yang pejal dengan pergulatan kelima tokoh tersebut, penulis memetakan lebih dulu mengenai interaksi agama Kristen dan masyarakat di Hindia-Belanda antara tahun 650-1920 serta dilanjutkan gelombang pasang surut pembukaan keran politik di negara jajahan antara tahun 1900-1942.
Konteks kehidupan masyarakat Hindia-Belanda saat-saat itu sedang bertransisi dari feodal ke modernitas. Kondisi tersebut adalah piranti bagi penulis guna membentangkan biografi kelima tokoh. Latar inilah yang dijadikan panggung bagaimana para tokoh berkiprah dengan karakteristik zaman yang dihadapinya dengan tetap menyandang kekristenan. Nilai dan gagasan modernitas menjadi daya tarik yang dibawa oleh institusi-institusi seperti kapitalisme-industri, negara modern, dan sektor pengetahuan yang berpengaruh dalam tiga ranah utama dalam kehidupan manusia: ekonomi, politik, dan budaya.1 Kita dapat melihat berbagai implikasi modernitas di Hindia Belanda dalam perubahan sistem pemerintahan di Hindia-Belanda yang turut membidani lahirnya kebijakan etis yang mengantarkan segelintir termasuk kelima tokoh terlibat lebih jauh di Dewan Rakyat (Volkskraad), pendidikan dari Sekolah Rakyat hingga perguruan tinggi, maupun aktivitas partai politik.
Jejak langkah minoritas dalam perjalanan menuju modernitas tersebut yang mendorong penulis untuk dipandu oleh pertanyaan kunci: bagaimana kelima tokoh Kristen ini mengonstruksi jembatan penghubung dengan mayoritas rakyat yang memiliki perbedaan-perbedaan signifikan? Mengupas pertanyaan ini, penulis menggunakan relasi tripartit antara pemimpin dan yang dipimpin, antara lain karismatik, tradisional, dan legal-rasional.
Pada kategori karismatik, terdapat Amir Sjarifoeddin dan Soegijapranata yang mendasarkan diri kepada kekuatan sebuah keyakinan dan menekankan elemen-elemen profetik yang karismatik dalam kekristenan. Dalam kategori kedua, yaitu legal-rasional, ditampilkan Kasimo dan Goenoeng Moelia yang lebih berkecimpung pada agenda teknokratis di dalam kerangka institusional. Terakhir, Ratu Langie dimasukkan dalam kategori tradisional yang menemukan kembali tema-tema wacana tradisional agama dan etnisitas regional (Timur-Kristen) sebagai baku kohesivitas.
Dalam perjuangan itu, kita juga dapat dengan terang melihat perbedaan jalan meniti cita-cita yang sama untuk lepas dari belenggu penjajahan bukanlah sebuah batu sandungan. Gesekan antara golongan nasionalis yang menggebu dan imajinatif seringkali berbenturan dengan kehidupan Kasimo dan Moelia yang lebih banyak berdisiplin dalam kelembagaan yang terstruktur. Aktivitas Amir Sjarifoeddin di “bawah tanah” juga acap dipandang sinis, karena rentan menimbulkan huru-hara daripada mendekat pada gerbang merdeka. Namun demikian, perbedaan itu mewariskan kekayaan pendirian, pemikiran, dan bahkan keberhasilan yang akan dituai kemudian hari.
Kendati demikian, mereka juga didapati cukup luwes berganti metode dalam berjuang maupun lepas dari penggolongan relasi tripartit oleh penulis. Di sini salah satu titik lemah lensa dari penulis yang belum meninjau dengan presisi. Kasimo tidak selalu kaku menapaki jalan legal-rasional yang terkesan menjauhi agenda politik. Sebaliknya, dia terlibat mendirikan Indische Katolieke Partij dan tergabung dalam federasi Gabungan Politik Indonesia. Mengenai tradisionalitas, Ratu Langie tidak berurat akar pada tradisi, melainkan budaya avant-grande Eropa di awal-awal studinya. Hal ini kontras dengan Soegijapranata yang digolongkan karismatik, akan tetapi dapat dikatakan lebih tradisional karena memiliki pandangan yang kuat akan kejawen aristokratik. Begitu pula yang terjadi pada Amir Sjarifoeddin, yang mana awal karismanya muncul ketika menjadi penyunting sebuah buletin Banteng yang dikenal nasionalis radikal. Ini berarti nonkooperasi tanpa kompromi. Namun, ada masa-masa ketika Amir alih haluan mengabaikan karismanya ketika tergabung dalam majalah sastra Poedjangga Baroe yang kurang populis karena berada di lingkar yang tidak dominan. Belum lagi karismanya menurun secara drastis saat menerima tawaran melakukan studi di Departemen Urusan Ekonomi Pemerintah Hindia-Belanda. Hal-hal demikian setidaknya adalah kewajaran, karena menjalani liku di lingkar kekuasaan atau di periferi tidak mengurangi kadar perjuangan, walaupun selalu ada ruang untuk “kompromi” yang tak jarang dicap sebagai kolaborator penjajah atau sebaliknya, pembangkang sebagai konsekuensinya.
Sebagaimana mereka bergulat di masa-masa transisi menuju modernitas, kita dapat dipantik untuk merenungi dan merespons keluhan-keluhan zaman kita saat ini, di sini, di mana kita berpijak. Manakala agama ditekan kuat oleh kecanggihan bernama modernitas, namun kehidupan para tokoh justru menyingkapkan bahwa kepercayaan merupakan bahan bakar yang tidak bisa disangkali dalam perjuangan mereka. Akan lebih menarik jika pembacaan buku ini ditindaklanjuti dengan refleksi ketika iman dan modernitas berada pada satu titik temu. Salah satu alasan kuat mengapa modernitas begitu unik dan berdampak adalah bahwa modernitas itu sendiri merupakan dialektika antara pemahaman moral (gagasan-gagasan yang diusung oleh masa Pencerahan, seperti rasionalitas, individualisme, toleransi dalam keragaman) dan kehidupan sosial/institusional. Hal-hal inilah yang mendorong Hunter mengajukan tiga tipe kemungkinan bagaimana komunitas beriman merespons modernitas, di antaranya menarik diri, akomodatif, atau resisten.2 Bila kita dapat membedah lebih lanjut tipe respons kelima tokoh ketika bersinggungan dengan modernitas, maka kita juga akan dilatih mengasah keterlibatan kita di masa ini, sebagai orang-orang religius, sehingga kita tidak tercerabut dari untaian sejarah para pendahulu lalu kemudian terjebak pada “agamaisasi politik” maupun “politisasi agama.”3
Secara keseluruhan, buku ini tidak bermaksud menggali spiritualitas para tokoh, sehingga pembaca akan kecut hati jika mengharap kesegaran seperti yang tersaji dalam buku-buku renungan. Tidak akan ditemukan jargon ataupun nas Kitab Suci. Kekristenan dalam buku ini seakan-akan hanya tampak sebagai penghias luaran. Namun demikian, kita justru belajar bahwa kekristenan tidak melulu eksplisit dan menonjol. Identitas kekristenan justru tidak sirna meski cita-cita dan agenda kelima tokoh beririsan dan seringkali berbarengan dengan kompatriot yang berbeda ideologi dan agama. Kesegaran berupa asa dan harapan dari kekristenan juga dapat ditimba melalui warisan rekam jejak dan buah karya.
1 James Hunter “What is Modernity? Historical Roots and Contemporary Features in Faith and Modernity.” In Faith and Modernity, ed. Philip Sampson, Chris Sugden, and Vinay Samuel (Oxford: Regnum Books International, 1994), 18.
2 James Hunter “What is Modernity? Historical Roots and Contemporary Features in Faith and Modernity.” In Faith and Modernity, ed. Philip Sampson, Chris Sugden, and Vinay Samuel (Oxford: Regnum Books International, 1994), 22.
3 Politisasi agama terjadi ketika agama diseret ke dalam ruang publik dan dijadikan simbol pertentangan dan alat solidaritas kelompok, sedangkan agamaisasi politik adalah ketika agama tertentu menuntut peran yang lebih besar sebagai pengambil keputusan tunggal dalam urusan negara. Lebih lanjut dapat dilihat di Benyamin Intan, “Kuyper’s sphere sovereignty and the restriction on building worship places in Indonesia” HTS Teologiese Studies / Theological Studies 78, no. 1 (28 April 2022): 5, https://doi.org/10.4102/hts.v78i1.7309.
Penyunting:
Calvin Nathan Wijaya
Korespondensi: semyarayunedya@rcrs.org